sponsor

Select Menu

Favourite

Berita

Budaya

Berita Utama

Popular

Kategori Berita

Comments

Advertisement

Berita Pilihan

Newsletter

Hi There, I am

SLIDE1

Bupati Simalungun

Pematang Raya

Pematang Siantar

Pendidikan

Politik

Kaos Simalungun

VIDEO

Membangun Komunitas Link Web Indonesia

web indonesia

  1. http://free-7.net - FREE-7.NET
  2. http://www.o-om.com - O-OM.COM
  3. http://nichpakaich.net - Nichpakaich
  4. http://garama-parraya.blogspot.com-garama parraya

Ada sebuah Filosofi politik yang mengatakan "Tidak ada teman dan tidak ada musuh yang abadi, yang ada adalah kepentingan bersama" . Mungkin filosofi ini yang meng-ilhami perushaan IBM bekerja sama dengan komunitas open source untuk menghadapi dominasi Microsoft dalam aplikasi sever.



Ter-inspirasi dari filosofi itu dan dari membaca dan berusaha memahami masalah link building dari posting Darren Rowse di problogger.net-nya (12 Tools and Techniques for Building Relationships with Other Bloggers) juga dari membaca ebook link building secret yg saya temukan , maka saya mencoba menarik kesimpulan intinya dan mencoba membangun ide untuk mengajak para blogger Indonesia bersama-sama menciptakan suatu komunitas online bagi blogger indonesia , untuk saling mengenal dan membangun suatu kerjasama win and win bukan win and lose (menang dan menang bukan menang dan kalah) dalam hal traffic , untuk menghadapi apa? yah boleh kalau di bilang untuk menghadapi web-web full komersil yang memiliki budged cukup untuk membeli segala fasilitas mendatangkan traffic , atau paling tidak ini adalah suatu cara untuk berkenalan dan saling mengenal dengan para blogger Indonesia yang lain dan kelak bisa kita jadikan Katalog Pribadi Web/Blog Indonesia.

Yap, ini bicara promosi blog , yang saya rasa lebih efektif di banding sekedar bertukar link lalu memasangnya di sidebar sebagai blogroll, karena umumnya pengunjung blog kita tidak melirik sama sekali link-link dalam blogroll kita.

Oke, yang saya maksud di sini adalah menyebarkan posting saya ini secara berantai, karena posting utama akan paling menjadi perhatian pengunjung blog kita.

Yap ini ajakan suka-rela ,silahkan yang tertarik, dan yang tidak abaikan saja, bagi rekan-rekan senior yang trafficnya sudah tinggi juga silahkan jika ingin berbagi bersama, di bawah ini langkahnya: 1.Buat sebuah posting dengan judul Web Indonesia. 2.Copy-paste seluruh isi posting ini untuk isi posting anda. 3.Pada bagian atas kumpulan kode dalam teks area di atas ,masukan url-judul web anda di bawah url-judul web saya dan menambahkan nomor urut setelah web saya, jadi angka nomor urut anda adalah setelah no urut web saya....dan seterusnya secara berantai. 4.Setelah itu abadikan link url posting misalnya di letakan di sidebar, supaya kelak gampang di cari.

Salah satu tujuan utama saya adalah dalam rangka menyebarkan budaya ngeblog, saling mengenal dan membantu traffic bagi rekan2 pemula .

Anda tidak akan saya curangi untuk memasang anchor text atau link web saya atau web lain-nya, tak ada satu link pun yang menuju alamat web atau blog saya atau lain-nya , tapi hanya sekedar alamat dalam bentuk teks untuk saling mengenal. juga logo web indonesia di atas cuma sekedar logo bersama, tak ada link atau keyword yang saya sisipkan.

Dan jika masih ada pemikiran di akali karena web saya ada di urutan atas dari link anda , maka abaikan tulisan ini.

Jika berjalan lancar, saya rasa cara promosi ini tidak kalah efektif di banding berburu link dan mencari RSS submissions sebanyak banyaknya dengan melelahkan, bahkan RSS atau tukar link banyak kemungkinan link anda akan terhapus karena banyak sebab, tapi posting secara umum akan tetap ada sampai kapanpun .

Dan ini bisa menjadi acuan untuk pelacakan hubungan link secara berantai melalui dari mana anda mendapatkan posting ini.

Hasil dari copy-paste dan penyebaran posting ini seterusnya adalah persis seperti isi posting ini dengan daftar link di bawah logo Web Indonesia yang semakin bertambah.

Jika ingin copy-paste kode HTML secara langsung klik di sini (paragraf terakhir ini terserah anda mau di ikutkan atau tidak )



doma ongga itangar nasiam lagu cinta kalapa?anggo doma ,, coba tangar nasian lagu cinta kalapa versi i kode tuak

cinta kalapa i kode tuak




Sonaha anggo parbualan sanggah i kode tuak, ongga do itangar nasiam?
naha ma na mabuk,parbualan pe lang jelas, haganup ma ibualhon,,

bual-bual i kode tuak part1


bual-bual i kode tuak part2


bual-bual i kode tuak part3

Pendahuluan

Adapun Simalungun adalah suku Batak dari kelima Batak yang ada di Sumatera Utara . Simalungun artinya “sunyi” nama itu di berikan oleh orang luar karena penduduknya sangat jarang dan tempatnya sangat berjauhan antara yang satu dengan yang lain. Orang Batak Toba menyebutnya “BALUNGU” sedangkan orang Karo menyebutnya Batak Timur karena bertempat di sebelah Timur mereka.

Penduduk Simalungun bagian Timur pada umumnya sudah banyak menganut agama Islam sedangkan Simalungun Barat menganut Animesme. Bila di selidiki lebih dalam kepercayaan mereka dengan pemakaian mantera-mantera yang dari “Datu” yang untuk di persembahkan kepada roh-roh nenek moyang selalu di dahului panggilan kepada Allah diatas, Allah ditengah, Allah dibawah. Sistem pemerintahan di Simalungun di pimpin oleh seorang Raja, sebelum pemberitaan injil masuk Tuan Rajalah yang sangat berpengaruh. Orang Simalungun menganggap bahwa anak Raja itulah Tuhan dan Raja itu sendiri adalah Allah yang kelihatan.

Sistem mata pencaharian orang Simalungun yaitu bercocok tanam dengan jagung, karena padi adalah makanan pokok sehari-hari dan jagung adalah makanan tambahan jika hasil padi tidak mencukupi. Jual- beli di adakan dengan barter, bahasa yang di pakai adalah bahasa dialek (sendir). “Marga” memegang peranan penting dalam soal adat Simalungun. Jika di bandingkan dengan keadaan Simalungun dengan Batak yang lainnya sudah jauh berbeda, di Tapanuli sudah berdiri sekolah-sekolah, Rumah sakit, dan sekolah-sekolah keterampilan lainnya sehingga sistem kehidupan Tapanuli lebih maju.

Masuknya Injil dan Berdirinya GKPS

September 1903 masuknya injil Tuhan Yesus Kristus di Simalungun dan Pendeta yang membawanya ke Simalungun adalah Pendeta.DR. L . Nommensen sebagai kepala pemberita injil di tanah Batak.

Januari 1904 di mulialah Zending Simalungun yang bertempat tinggal di Pematang Raya dan Pdt. Guilllaume berada di Purba saribu untuk melayani pemberitaan injil di Simalungun Raya di bagian Barat. Sebagai hasil pertama dari pemberitaan injil di Simalungun baru pada tahun 1909 di Pematang Raya menerima permandian suci (Pandidion na parlobei) oleh Pdt. Theis kemudian di Parapat juga ada 38 orang yang menerima permandian suci.

1 September 1928 di adakan di Pematangan Raya pesta peringatan genap 25 tahun pemberitaan injil di Simalungun, dan atas kesepakatan dari beberapa Guru dan Sintua maka di bentuklah sebuak komite. Komite ini bertugas untuk membuat agenda Gereja, buku nyanyian “HALLELUYA”, Bibel dan sebuah buku renungan harian “Manna”. Pdt yang pertama dari Simalungun yaitu Pdt. J. Wismar Saragih.

15 November di bentuklah kongsi Laita di Sondiraya. Laita artinya ayo kita pergi. Kongsi ini merupakan suatu badan yang di gerakkan anggota jemaat Pematang Raya yanng bertujuan untuk mengajak umat Kristen untuk memberitakan injil dan menyaksikan nama Tuhan Yesus Kristus pada orang Simalungun dan tahun1938 di adakan Fonds saksi Kristus.

Simalungun menjadi 1 Distrik di Dalam HKBP

26 September 1940 maka jemaat Simalungun berkembang menjadi satu Distrik di dalam HKBP.

Distrik Simalungun HKBP Simalungun

5 Oktober 1952 anggota Synode Distrik Simalungun bersidang agar Simalungun berdiri sendiri terpisah dari HKBP, serta mengangkat pengurus harian dan majelis Gereja di HKBPS.

30 November 1952, untuk memudahkan urusan Gereja ini HKBPS di bagi menjadi tiga Distrik dan Kantor pusat GKPS didirikan di Pematang Siantar. Kantor pusat bermula menumpang dalam satu rumah sewa di Jalan Pantuan Nagari Martoba Pematang Siantar dan setelah mendapat sebidang tanah di Jalan Sudirman maka Kantor pusat HKBPS berdiri sendiri.

HKBP Simalungun menjadi GKPS

1 September 1963 HKBP Simalungun berganti nama dengan GKPS. Setahun setelah itu didirikan pusat pendidikan GKPS di Pematang Raya dan pembangunan Asrama Putra dan Putri dan tahun itu juga GKPS menjadi anggota PGI.

GKPS Menjalin Kerjasama Luar Negeri

15 Januari 1964 GKPS mendirikan pusat pelatihan pertanian di Pematanng Siantar (PELPEM GKPS) dan satu tahun kemudian GKPS menjadi anggota wilayah PGI-WILAYAH SUMUT dan anggota LWF, ELCA, dan menjalin kerja sama dengan DGD, LCA (Australia) dan berkembang CCA. Karena semakin berkembangnya jemaat GKPS didirikanlah Kantor pusat/kursus Zentrum GKPS dan mulai menjalin kerja sama dengan Gereja Mulheim Jerman.

Penutup

Behubungan dengan lokasi Kantor pusat GKPS yang ada di Jalan Sudirman sangat sempit dan suasana Kantor tersebut yang berketepatan dekat dengan Jalan raya sehingga para pegawai sulit dalam mengkonsetrasikan pekerjaannya. Atas pertimbangan hal tersebut di atas maka tanggal 4 September 1988 di dirikanlah penngembangan Kantor pusat GKPS Pematang Siantar, dan pada tanggal 2 Maret 1992 Kantor pusat GKPS berpindah ke Jalan Pdt. J.Wismar Saragih hingga sekarang.
Entri ini ditulis oleh rapolo dan dikirimkan oleh Oktober 15, 2003 at 3:57 am dan disimpan di bawah GKPS, Sejarah Batakdengan pengait kata (tags) GKPS, Martoba, Nommensen, Pematang Raya, Saragih, Sejarah GKPS, Siantar, Simalungun, Sondiraya.

Kongsi Laita adalah salah satu gerakan swadaya masyarakat Kristen-Simalungun yang didirikan pada tanggal 15 November 1931 di Sondi Raya (dekat Pematang Raya) untuk mengabarkan Injil pada seluruh orang Simalungun yang masih memeluk agama suku. Kesuksesan gerakan ini turut memperluas daerah pelayanan Kongsi Laita dari Sondi Raya ke seluruh daerah Simalungun hingga akhirnya diakui sebagai satu seksi dalam HKBP Simalungun. Saat ini nama Kongsi Laita diabadikan sebagai nama sebuah Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) di Sondi Raya dan pekan lahirnya kongsi ini diperingati tiap tahunnya oleh GKPS sebagai Minggu Bapa (Bapak).


Kelahiran

Kesuksesan Comite Na Ra Marpodah Simalungun (gerakan orang Kristen-Simalungun untuk memajukan suku Simalungun melalui percepatan pengabaran Injil) dalam meningkatkan penyebaran Injil bagi orang Simalungun dengan digunakannya penggunaan bahasa Simalungun sebagai bahasa pengantar (berlawanan dengan bahasa Toba yang digunakan RMG ,Rheinische Missions-Gesselschaft, gerakan pengabaran Injil dari Jerman), turut menumbuhkan semangat seluruh orang Kristen Simalungun di berbagai daerah untuk turut menyebarkan Injil, dan untuk itu diperlukan komunitas yang terorganisir.

Seusai kebaktian minggu pada tanggal 15 November 1931, beberapa orang Kristen-Simalungun dari Sondi Raya sepakat untuk mengadakan rapat di rumah Gomar Saragih untuk membentuk suatu organisasi pekabaran Injil. Rapat tersebut dihadiri oleh:

1. St. Parmenas Purba Tambak
2. Gomar Saragih Sumbayak
3. Guru Williamar Sumbayak
4. St. Jonas Girsang
5. Sekia Sumbayak

Malam itu didirikanlah Kongsi Laita dengan susunan kepengurusan:

* Ketua: Guru Williamar Sumbayak
* Sekretaris/Bendahara: St. Parmenas Purba Tambak
* Komisaris:
o St. Jonas Purba
o Melanthon Saragih
o Mailam Purba

Selanjutnya pekan kelahiran Kongsi Laita ini diperingati sebagai "Minggu Bapa," di mana seluruh pelayanan di Gereja pada hari Minggu itu ditangani oleh anggota Seksi Bapa.

Etimologi

Kata "Kongsi" serupa artinya dengan "Parhasomanon" (bahasa Simalungun) atau "Vereeniging" (bahasa Belanda) yang merujuk pada organisasi yang memiliki kepengurusan dan keanggotaan. Namun tidak ada kewajiban atau iuran bagi anggota sebagaimana organisasi umumnya. Pendanaan bagi setiap kegiatan di dalamnya bersifat swadaya, didorong oleh perasaan berhutang dalam tiap anggota pada saudara-saudaranya yang masih beragama suku.

Kata "Laita" dalam bahasa Simalungun berarti "ayo kita pergi." yang mencerminkan semangat dan dorongan untuk bergerak memberitakan Injil.

Motivasi

Sesuai dengan makna namanya, Kongsi Laita merupakan komunitas yang terdorong untuk memberitakan injil ke pada saudara-saudaranya untuk memberitakan Injil . Semangat penginjilan Kongsi Laita didasarkan pada perintah amanat agung Yesus Kristus dalam Alkitab, Matius 16:15. Beberapa hal yang secara khusus memotivasi didirikannya Kongsi Laita pada komunitas Kristen Simalungun yaitu:

1. Banyaknya jumlah orang Kristen-Simalungun di Sondi Raya, 167 orang, sepertiga dari jemaat HKBP Pematang Raya. 4 orang diantaranya juga telah menjadi Sintua (St. Jonas Girsang, St. Jakobus Sinaga, St. Natanael Purba dan St. Parmenas Purba). Sejak 1926 telah diadakan kebaktian rumah tangga (partonggoan) mingguan diantara komunitas ini yang juga mengakomodasi anggota yang tak mampu lagi berjalan kaki ke HKBP Pematang Raya.
2. Sejak awal sudah banyak anggota komunitas ini yang mengikuti pendidikan Volkschool yang dibuka di Pematang Raya pada tahun 1904 (J. Markus Damanik, Jason Saragih, T. Justin Saragih, Ferdinand Saragih, Benyamin Damanik, Melanthon Saragih dan Williamer Saragih) dan sejak kelulusannya di tahun 1914 diangkat menjadi guru sekolah di berbagai tempat di Simalungun.
3. Kebiasaan anggota komunitas ini mendiskusikan khotbah kebaktian minggu dalam perjalanan pulang dari HKBP Pematang Raya yang menimbulkan kesadaran bahwa mereka berkewajiban untuk membawa saudara-saudaranya yang masih beragama suku ke dalam agama Kristen.

Metode

Gerakan ini berusaha menyebarkan Injil dengan cara dan pendekatan yang memanfaatkan kultur Simalungun. Selain menggunakan bahasa Simalungun sebagai pengantar, komunitas ini juga menggunakan adat Simalungun dalam mengabarkan Injil. Sebelum berkunjung ke rumah orang yang hendak di-injili, diadakan acara pendahuluan berupa "manurduk demban sayur," atau menyajikan makanan adat "dayok na binator." Dalam pengabaran Injil mereka mengganti istilah "zending" dengan istilah "Mangarah" yang maknanya lebih mendalam bagi orang Simalungun. Kedalaman hubungan dengan orang yang diinjili juga semakin dekat secara emosionil dengan "martutur."

Misi pekabaran Injil sangat diutamakan oleh komunitas ini sehingga terciptalah aturan kongsi (pati-patian ni kongsi) yang berbunyi: "Anggo marsahap ham atap ija pe pakon sada halak, gabe anggo marbuali ningon ma bani hata palimakababahkon mansahapkon hata ni Naibata. Siotikon anggo samah Kristen manungkun atap marminggu do ia. Anggo naso tinanda gabe sungkunon atap na dob marminggu do ia" (bahasa Simalungun, artinya: Kalau anda berbicara dengan seseorang di mana saja, haruslah anda selipkan firman Tuhan pada kalimat kelima. Minimal kalau pada sesama orang Kristen menanyakan apakah dia mengikuti kebaktian minggu. Kalau dengan orang yang tidak dikenal hendaknya ditanyakan apakah ia sudah beragama Kristen).

Cabang-cabang

Kongsi-kongsi

Kesuksesan gerakan ini terbukti dengan cepatnya penyebaran gerakan ini. Pada periode 1931-1938, telah bediri cabang-cabang sebagai berikut:
* Kongsi Andohar Jadi, di Bahapal Raya.
* Kongsi Panoguan, di Pamatang Raya.
* Kongsi Andohar Sauhur, bagi kalangan namaposo (bahasa simalungun untuk pemuda-pemudi) Kristen.

Pos Pengabaran Injil

Sampai tahun 1938, sudah ada 23 pos pengabaran Injil yang didirikan gerakan ini di seluruh Simalungun: 8 pos di Raya, 3 di Purba, 2 di Dolog Silou, 1 di Nagoridolog, 1 di Raya Kahean, 1 di Sidamanik, 1 di Pematangsiantar, 1 di Panei, 1 di Mangadei, 1 di Sinaman/Sirpang Raya, dan3 di Silimahuta/Saribudolok.
Pada ulang tahunnya ke 10, 15 November 1941, Kongsi Laita mengangkat 5 orang Evangelis (penginjil) sukarela yang digaji seadanya. 5 orang tersebut berlatarbelakang datu (dukun) yang telah dibaptis, yaitu:

* Luther Purba (ditugaskan ke Nagoridolog)
* Murdi Purba (Sinaman/Bangun Mariah)
* Petrus Sinaga (Nagori/Haranggaol)
* Josep Sipayung (Saranpadang/Dolog Silou)
* Boas Purba (Dalig Raya)

Pengakuan

RMG turut mengakui efektifitas gerakan ini saat salah seorang pengabar Injilnya, Ds. Volmer, memanggil gerakan ini ke daerah Purba pada tahun 1938 untuk mengimbangi pengaruh Roma Katolik yang saat itu memasuki Simalungun Atas.

Pdt. Djaulung Wismar Saragih Sumbayak, seorang tokoh kebangunan suku Simalungun, sangat mendukung kegiatan kongsi ini dengan mengadakan kebaktian-kebaktian Penelaahan Alkitab dalam tiap pertemuan pengurus - anggota Kongsi Laita yang biasa diadakan di HKBP Pematang raya. Ia menekankan perlunya kerjasama agar suku bangsa Simalungun seluruhnya dapat maju melalui kekristenan.

Dalam Sinode Bolon HKBP Simalungun di tahun 1956, Kongsi Laita resmi diakui menjadi satu seksi dalam tubuh HKBP-S yang diberi nama Seksi Kongsi Laita dan memiliki cabang di tiap jemaat HKBP-S.

Masa Sulit

Pada bulan Februari 1942, tentara penjajahan Jepang masuk ke Simalungun melalui Tanjung Balai dan Pantai Cermin sampai akhirnya kota Saribudolog diduduki pada tanggal 13 Maret 1942. Ketatnya pengawasan Gunseibu dan Kempeitai terhadap kegiatan Gereja memaksa Kongsi Laita untuk menghentikan kegiatannya dalam mengabarkan injil ke daerah pelosok di Simalungun.

sumber : wikipedia



doma ongga itangar nasiam lagu-lagu ni fabo?anGgo lape, coba nasiam ma na sada on




FABO SUMBAYAK : HUTA RAYA

Ase songon namantap otik, coba sekalian idodingkon nasiam homa.

“HUTA RAYA”

Lyrics by FRANSWELL SUMBAYAK


Lang ongga sonon hu ahapkon sonang ni

Lang ongga sonon hu ahapkon damei ni

Anggo domma mulak hu huta

Huta Raya hatubuhanku



Yo tangar nassiam lobei na sada on

Pagi-pagi domma i puhoi

Lape jam lima pagi poltak pe lape mataniari

Ai ise do ra i suruh maridi

Lang ongga mandi pagi halani borgohni

langsung aja serapan pagi, minum kopi

Ku hirup udara pagi segarkan diri

Lupakan sesaknya kota yang selama ini kutinggali

Manjakan diri bebaskan diri Dari asap dan polusi juga gengsi

Hidup sederhana apa adanya Goran ni pe i huta-huta ai sonaha ma ra

Kumpul use pakon keluarga sonai ge parhuta

Jumpah pakon diha-diha hasoman sahuta

Hasoman marguro-guro tartawai

Kenangan masa kecil i huta Raya hatubuhanku



Lang ongga sonon hu ahapkon sonang ni

Lang ongga sonon hu ahapkon damei ni

Anggo domma mulak hu huta Huta Raya hatubuhanku

Lang ongga sonon hu ahapkon sonang ni

Lang ongga sonon hu ahapkon damei ni

Anggo domma mulak hu huta Simalungun hasiholanku



Yo tangar nassiam use na sada on

Bangga do au jadi anak Raya

Adat simalungun totap ijaga hita

Tolu sahundulan lima saodoran do hita

Tondong sanina boru sonai ge parhuta

Totap marsada jaga ma hita

Ulang lupahon hita totap dalanhon hita

Ase manggoluh tong Simalungun ronsi magira

Juppah ari sabtu Tiga Raya

Martulak boniaga hasil hun juma

Hu tiga raya mardalani rapkon hasomanku

Lang na laho bolanja manorihi anak boru

Atap dong boru sinaga harosuhni uhur hu

Cari alasan martandang malam minggu

Pasombuh siholhu patugahkon holongku

Hu bani botou ai boru Simalungun hasiholanku



Lang ongga sonon hu ahapkon sonang ni

Lang ongga sonon hu ahapkon damei ni

Anggo domma mulak hu huta Huta Raya hatubuhanku

Lang ongga sonon hu ahapkon sonang ni

Lang ongga sonon hu ahapkon damei ni

Anggo domma mulak hu huta Simalungun hasiholanku



1903 Ambilan na madear masuk hu raya

Na i boan ni pandita ta Agus Theis hun tanoh Eropa

Mangambilanhon Sipaluah mangajarhon damei

Halani i atas haganupan holong do marharga


Lang ongga sonon hu ahapkon sonang ni

Lang ongga sonon hu ahapkon damei ni

Anggo domma mulak hu huta Huta Raya hatubuhanku

Lang ongga sonon hu ahapkon sonang ni

Lang ongga sonon hu ahapkon damei ni

Anggo domma mulak hu huta Simalungun hasiholanku

Lang ongga sonon hu ahapkon sonang ni

Lang ongga sonon hu ahapkon damei ni

Anggo domma mulak hu huta Huta Raya hatubuhanku

Lang ongga sonon hu ahapkon sonang ni

Lang ongga sonon hu ahapkon damei ni

Anggo domma mulak hu huta Simalungun hasiholanku

FABO Sumbayak-created 2007
Horas ma hubata haganup...
Salut ma hubani abang fabo..frans sumbayak...dengan warna musik hip-hop simalungun na iboan hon fabo,,jadi bertambah ma keanekaragaman ni warna musik simalungun.
on ma bukti ni bahwa semakin kreatif ma tongon hita warga simalungun.

MAJU TERUS SIMALUNGUN







Nama : FABO SUMBAYAK

Nama Asli : Franswell M Sumbayak

Alamat : Pematang Raya

No Telepon : 0816 146 9668

E-mail : Frans_Well@Yahoo.co.id



Album perdana ni fabo sumbayak





Album : HUTA RAYA

Artis : FABO SUMBAYAK

Genre : HIP-HOP

Year : 2008


Sada bocoran hubani nasiam haganup pecinta lagu-lagu simalungun, bahasa tahun depan rencanani kaluar ma album pa dua hon ni abang fabo sumbayak...
lagu andalan ni : " Ija Do Ham Sonari "
Sabar ma hita haganup paimahon tene..sonaha ma tongon holi lagu ai..
Diatei tupa ma

Description:
Bupati : T Zulkarnain Damanik
Wakil Bupati : Pardamean Siregar

LAHAN pertanian yang subur dan luas menjadi modal utama perekonomian Simalungun dan menjadikan daerah ini lumbung padi terbesar kedua Sumatera Utara setelah Kabupaten Deli Serdang. Terletak pada ketinggian 369 meter di atas permukaan laut, Simalungun mampu menarik perhatian masyarakat luar daerah sejak zaman kolonial.



Kehadiran pemerintahan kolonial memberi arti penting bagi perkembangan pertanian. Irigasi yang bersumber dari bendungan, salah satu bentuk pembangunan zaman kolonial, dimanfaatkan petani untuk mengairi sawah.

Lahan sawah, termasuk ladang, tersebar merata di setiap kecamatan. Tahun 2001 misalnya, petani Simalungun memproduksi beras 293.179 ton, 190 persen dari kebutuhan lokal. Simalungun setiap tahun surplus beras yang disalurkan ke daerah sekitarnya melalui Dolog maupun pasar tradisional.

Swasembada pangan Simalungun teruji puluhan tahun dan masih akan terus berlangsung. Dalam beberapa kesempatan, niat petani menanam padi tidak begitu kuat. Tahun 1995, petani bersemangat menanam kelapa sawit sehingga tidak sedikit lahan sawah beralih fungsi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Alih fungsi lahan ini tidak mengganggu Simalungun sebagai penghasil beras. Produksi beras Simalungun tahun 1995 surplus 149.255 ton.

Selain padi, daerah ini juga penghasil utama palawija. Jagung, ubi jalar, ubi kayu, dan kacang tanah menempati urutan pertama dan kedua produksi terbesar di Sumatera Utara.

Dukungan tenaga kerja pertanian tanaman pangan sangat besar. Kecamatan Dolok Panribuan dan Tanah Jawa yang berbatasan dengan Kabupaten Asahan di timur serta delapan kecamatan lainnya di barat merupakan daerah-daerah dengan tenaga kerja pertanian tanaman pangan lebih dari 50 persen. Kecamatan Dolok Silau yang berbatasan dengan Kabupaten Karo di barat menjadi penyedia tenaga kerja pertanian tanaman pangan terbesar (83,4 persen). Sementara Kecamatan Tapian Dolok yang berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang menjadi daerah dengan sebaran penduduk merata dalam lapangan pekerjaan: pertanian tanaman pangan, perkebunan, pertanian lainnya, industri pengolahan, serta jasa.

Potensi perkebunan semakin memantapkan pertanian sebagai sektor unggulan. Kegiatan ekonomi daerah tahun 2001 Rp 4,2 triliun, 62 persen disumbang oleh pertanian. Di sektor pertanian, hampir 50 persen ditunjang hasil perkebunan.

Kelapa sawit menjadi komoditas utama. Tahun 2001 tak kurang 489.335 ton dihasilkan dari areal 24.787 hektar. Kelapa sawit merupakan produksi perkebunan rakyat terbesar kedua di Sumut setelah Kabupaten Labuhan Batu. Perkebunan besar dengan lahan hampir 70.000 hektar kelapa sawit memproduksi sekitar satu juta ton tahun 2001. Karet dan cokelat menjadi pendukung kontribusi perkebunan. Saat ini ada dua badan usaha besar yang dikelola pemerintah dan swasta.

Jumlah tenaga kerja perkebunan tidak merata di setiap kecamatan. Ada tiga kecamatan dengan tenaga kerja setidaknya 20 persen, yakni Dolok Batu Nanggar, Jorlang Hataran, dan yang terbesar Sidamanik (28,5 persen) berbatasan langsung dengan Danau Toba.

Fluktuasi produksi karet dialami oleh perkebunan yang dikelola pemerintah lima tahun terakhir. Setelah penurunan produksi tahun 1997, tahun 2001 meningkat 38 persen dari tahun sebelumnya menjadi 8.608 ton. Peningkatan produksi sangat tajam juga terjadi pada komoditas cokelat. Tahun 2000 perkebunan hanya memproduksi 2.076 ton kakao. Setahun berikutnya naik menjadi 13.630 ton. Namun, ini masih di bawah produksi tahun 1999 yang mencapai 16.032 ton.

Tanaman yang membuat prihatin adalah teh. Produksi teh yang terpusat di Kecamatan Raya dan Sidamanik ini mulai anjlok. Penurunan produksi secara tajam dimulai tahun 2000, dari 100.498 ton tahun sebelumnya menjadi 75.796 ton, dan tinggal 15.340 ton tahun 2001.

Dalam menjual hasil panen, petani Simalungun sangat bergantung pada pedagang dan tengkulak, yang sebagian besar dari luar daerah. Kehadiran industri besar, seperti PT Good Year Sumatra Plantations yang didirikan tahun 1970, cukup membantu petani memasarkan hasil panen mereka. Meskipun memiliki perkebunan sendiri, perusahaan pengolahan karet ini mampu menampung karet hasil perkebunan rakyat. Setelah diolah menjadi bahan setengah jadi, produknya dijual ke luar daerah dan ekspor.

Melihat produksi pertanian yang melimpah, sepantasnya Pemerintah Kabupaten Simalungun memberikan perhatian khusus terhadap perkembangan industri pengolahan. Meski masih belum maksimal, aktivitasnya mampu memberikan kontribusi Rp 721,6 miliar. Jumlah tenaga kerja yang terserap dalam bidang ini di berbagai kecamatan memang masih sedikit, satu sampai empat persen. Satu-satunya kecamatan dengan jumlah tenaga kerja besar dalam bidang ini adalah Tapian Dolok, yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Deli Serdang, dengan 12,7 persen tenaga kerja.

Perpaduan pengembangan antara pertanian sebagai sumber bahan baku, industri sebagai wahana pemberi nilai tambah, dan perdagangan akan menjadikan Simalungun sebagai daerah agroindustri, agrobisnis, dan juga agrowisata.

Jhon Hugo Silalahi, luas 4.369 km2, 21
kecamatan, 237 desa, 14 kelurahan (251), penduduk
855.591 jiwa, 184.132 KK.

Simalungun di Tengah Eksistensi

I. Pengantar
Isu pemekaran Simalungun sedang hangat-hangatnya dibicarakan di Simalungun sekarang ini. UU Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004

I. Pengantar

Isu pemekaran Simalungun sedang hangat-hangatnya dibicarakan di Simalungun sekarang ini. UU Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Bab II Pasal 5 ayat 4 mengatakan, “Syarat teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup: faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.” Dan di Bab I Pasal 2 ayat 9 disebutkan, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Hal ini menegaskan komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia ini yang memberikan ruang bagi terpeliharanya warisan sejarah dan kultur dari sebuah daerah seperti Kabupaten Simalungun yang senama dengan etnis Simalungun sebagai penduduk aslinya. Untuk itu, dalam tulisan ini penulis berusaha untuk menjelaskan jalan sejarah Simalungun dari sisi eksistensinya di Sumatera Timur sebelum kemerdekaan-yang menurut hemat penulis penting dalam memutuskan pemekaran Simalungun. Wacana pemekaran dan gerakan pro-kontra hendaknya dicermati dan dipertimbangkan dari berbagai aspek, khususnya aspek historis, kultur dan sosiologinya Simalungun, agar pemekaran - yang katanya untuk mensejahterakan masyarakat tidak berbalik menjadi ajang menyengsarakan rakyat kecil dan hanya menguntungkan para elite politik yang berebut kekuasaan.

II. Simalungun dalam Administrasi Kolonial

Dari catatan pejabat-pejabat kolonial Belanda nama “Simalungun” boleh disebut relatif baru, pada ekspedisi Controleur Labuhan Deli, JAM van Cats Baron de Raet pada 28 Desember 1866, daerah ini masih disebut Timoerlanden (Tanah Timur) (Tideman, 1922:211-213). Sedangkan JA Kroesen controleur Labuhan Ruku dalam laporannya tahun 1890 menyebut Simeloengoen. Orang Karo hingga abad XX masih menyebut Batak Timur. Secara tertib administrasi kolonial Belanda, baru sejak 12 Desember 1906 nama Simeloengoen” dikukuhkan dengan dibentuknya Afdeeling Simeloengoen en Karolanden dalam lingkup Provinsi Oostkust Sumatra yang berkedudukan di Medan, yang pengesahannya dilakukan Gubernur Jenderal Hindia Belanda dengan Lembaran Negara (Staatsblad) No. 531 tahun 1906 di Batavia (Staatsblad No. 531). Pada tahun 1907 ketujuh raja-raja Simalungun meneken pernyataan takluk pada Belanda dengan Korte Verklaring. Lantas Simalungun dibagi atas tujuh daerah swapraja atau landschap yang berpemerintahan sendiri (otonom) dengan daerah distrik dan onder distrik sebagai berikut:

No Kerajaan/Landschap
Distrik/Partuana Raja/Zelfbestuur
1 Siantar
1. Siantar

2. Bandar

3. Sidamanik
Damanik
2 Tanoh Djawa
1. Tanoh Djawa

2. Bosar Maligas

3. Djorlang Hataran

4. Dolog Panribuan
Sinaga
3 Panei
1. Panei

2. Dolog Batu Nanggar

Prba Dasuha

4 Raya
1. Raya

2. Raya Kahean
Saragih Gaiungging

5 Dolog Silou
1. Dolog Silou

2. Silou Kahean
Purba Tambak

6 Poerba
Poerba Purba Pakpak

7 Silimahuta
Silimahuta Purba Girsang

Dengan suku bangsa Simalungun atau Batak Timur mempunyai jalan sejarah yang unik yang berbeda dengan suku-suku dan puak di Sumatera Utara ini. Jadi kalau kita bicara tentang Simalungun kita harus mengenal lebih dahulu siapa yang disebut Suku bangsa (halak) Simalungun itu.

III. Asal-Usul, Kependudukan dan Potret Kehidupan Tradisional

Sampai sekarang, asal-usul orang Simalungun masih diliputi oleh banyak misteri, sama halnya dengan asal-usul raja-raja Simalungun yang dibungkus oleh legenda dan mitos (Liddle, 1970:22). Sedikit saja sumber yang menjelaskan asal-usul raja-raja tersebut, itupun tidak mencerminkan asal-usul seluruh marga yang disebut halak Simalungun. Yang menarik, tidak satupun naskah kuno itu merujuk asal-usul raja-raja Simalungun dari Toba atau Tapanuli, malah Partikkian Bandar Hanopan mengacu pada Pagarruyung di Sumatera Barat sebagai asal-usul raja Dolog Silou, Panei dan Silimakuta (Lihat, Partikkian Bandar Hanopan: Naar his in Batakschrift op Paper Met Watermerk, 1845, Bundel VT. 238, hlm. 8-9). Dalam partikkian yang ditransliterasi Latin oleh P. Voorhoeve dan JE Saragih dijelaskan asal-usul raja Silou marga Purba Tambak yang disebut dari Pagarruyung-Sumatera Barat.

Dalam perbincangan penulis dengan Tuan Mr Djariaman Damanik mantan Kajati Sumut dan Bali, beliau mengatakan dari hasil penelitiannya, Suku bangsa Simalungun termasuk rumpun Proto Melayu yang berasal dari Hindia Belakang, diduga dari Nagore (India Selatan). Berdasar gelombang masuknya ke Simalungun, leluhur suku bangsa Simalungun kemungkinan besar berasal dari dua keturunan nenek moyang. Gelombang pertama dari Hindia Belakang melalui Aceh (pesisir timur) dan sebagian dari Singkel (pesisir barat) yang menurunkan marga asli Simalungun, Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba (Sisadapur) yang kemudian menurunkan cabang-cabang marga, sedang gelombang kedua disebut merupakan peleburan suku-suku bangsa yang kemudian masuk ke Simalungun dan memakai adat dan budaya Simalungun yang secara populer disebut “namarahap Simalungun” yang berasal dari Toba, Samosir, Karo, Pakpak dan Jawa. (Purba, 1982). Selama berabad-abad nenek moyang suku bangsa Simalungun ini berdiam di pantai dan setelah masuknya orang-orang Melayu dari Malaka akibat serbuan Portugis tahun 1511 berangsur-angsur mereka terdesak hingga mencapai pedalaman Sumatera sampai ke pinggiran Danau Toba (Bnd. Batara Rangti, 1977, 148-152).

Ypes, etnolog yang lama tinggal di Tanah Batak menyebutkan bahwa suku bangsa Batak yang mendiami pegunungan sekitar Dolok Pusuk Buhit, leluhurnya semula berasal dari utara Pulau Sumatera yaitu di daerah Pasai dari sana menyebar ke Gayo-Alas dan sebagian lagi ke pinggiran Danau Toba. Neuman menyebutkan bahwa marga Tarigan yang ada di Tanah Karo berasal dari marga Purba di Dolog (Silou) Simalungun. Fakta ini oleh Neuman dihubungkannya dengan banyaknya cabang marga Tarigan yang persis sama dengan cabang marga Purba di Simalungun (Sinar, 1971-87). Lagipula tidak adanya marga Tarigan yang menjadi penguasa (sibayak) di Tanah Karo memberi kesan bahwa mereka adalah marga pendatang di sana. Dengan demikian dari penelitian para ahli di atas kemungkinan tradisi bermarga yang ada pada suku-suku bangsa rumpun Batak itu diawali ketika mereka masih berada di daerah Gayo, dan terformasi di daerah persebaran suku-suku bangsa tersebut dalam tahapan berikutnya.

Dengan begitu, anggapan yang menyatakan etnis Simalungun asli (Proto Simalungun) merupakan bagian “peralihan” dari suku bangsa Batak Toba dan Karo bertentangan dengan sejarah Simalungun. Tradisi lisan masyarakat asli Simalungun sebagaimana dituturkan MD. Purba menjelaskan kalau marga-marga Simalungun yang empat itu (Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba) bukan berasal dari Toba-Samosir, melainkan marga asli yang lahir dan mengalami perkembangannya masing-masing di Simalungun. Keempat induk marga (hoofdmargas) ini di kemudian hari menyebar ke luar daerah Simalungun yaitu Tapanuli dan daerah tetangga Simalungun, pada saat berkecamuknya serangan invasi pasukan ekspedisi dari Jawa-Hindu, Chola dan Aceh ke Simalungun

IV. Potret Kehidupan Tradisional

1. Bahasa dan Aksara

Suku bangsa Simalungun mempunyai bahasa dan aksara tersendiri yang berbeda dengan suku-suku bangsa lainnya. Menurut penelitian P. Voorhoeve sebagai pejabat taalambtenaar di Simalungun sejak tahun 1937, bahasa Simalungun merupakan bahasa rumpun Austronesia yang lebih dekat dengan bahasa Sansekerta yang banyak mempengaruhi bahasa-bahasa di Nusantara. Hal ini dibuktikan dengan kekhasan bahasa Simalungun dibanding bahasa-bahasa yang dikategorikan ke dalam rumpun bahasa-bahasa Batak. Voorhoeve (Sinalsal No. 90/September 1938 hlm. 22-23), menyebutkan bahwa kedekatan bahasa Simalungun dengan bahasa Sansekerta ditunjukkan dengan huruf penutup suku mati uy, dalam kata apuy dan babuy, g dalam kata dolog, b dalam kata abad, d dalam kata bagod dan ah dalam kata babah, sabah juga ei dalam kata simbei, dan ou dalam kata sopou, lopou, Uli Kozok (1999:14), seorang filolog mengatakan bahasa Simalungun ditinjau dari sejarahnya merupakan cabang dari rumpun selatan yang berpisah dari bahasa-bahasa Batak Selatan sebelum bahasa Batak Toba dan Mandailing terbentuk. Dari sini, nyatalah bahwa bahasa Simalungun lebih tua umurnya ketimbang bahasa Batak Toba dan Mandailing. Henry Guntur Tarigan (Saragih, 2000:339), menyebut empat dialek bahasa Simalungun: Silimakuta, Raya, Topi Pasir (Horisan), Jahe-jahe (dekat pesisir pantai timur). Ragam jenis pemakaiannya seperti berikut ini:

a. Bahasa Tingkatan:

* Terhadap raja (kaum bangsawan) contohnya, paramba (hamba), dongan (beta), janami (baginda), modom (mangkat). Bahasa tingkatan ini sering dipakai oleh orang Simalungun dalam komunikasinya sehari-hari dengan raja atau keluarga kerajaan.

* Tingkatan usia, yaitu yang dipakai dalam pergaulan antara seseorang yang posisinya lebih muda dengan yang lebih tua dan sebaliknya atau sesuai dengan tingkatannya dalam partuturan (hubungan kekerabatan). Misalnya: ho dipakai yang lebih tua kepada yang lebih muda, ham dari yang lebih muda kepada yang lebih tua atau kepada yang derajatnya dianggap lebih tinggi, hanima sebutan untuk menyebut sekumpulan orang dalam posisi yang lebih rendah atau nasiam yang ditujukan kepada sekelompok orang yang lebih tua dari pembicara. Bagi orang Simalungun adalah tabu menyebut orang yang lebih tua dan sembahannya dengan kata ho atau hanima.

b. Bahasa ratap tangis, dipakai pada saat berkabung, sesuai dengan hubungan kekerabatannya. Misalnya, inang na umbalos artinya bibi, si humoyon artinya perut, simanohut artinya mata, dan lain-lain.

c. Bahasa simbol dengan memakai medium atau benda-benda tertentu dengan maksud menyampaikan maksud-maksud tertentu. Misalnya dalam permainan onja-onja di mana seorang pemuda memakai benang merah untuk menyatakan bahwa sampai mati akan tetap berjuang mendapatkan cinta gadis idamannya.

d. Bahasa datu atau guru, bahasa yang dipakai para dukun dengan memakai bahasa mantera atau tabas yang merupakan campuran dari berbagai bahasa dengan maksud-maksud tertentu.

Dengan begitu, penelitian Voorhoeve dan filolog asing itu menegaskan kenyataan bahwa, suku bangsa Simalungun merupakan suku bangsa tersendiri yang memiliki bahasa, adat istiadat, kebudayaan dan aksara sendiri yang disebut aksara Surat Sisapuluhsiah.

2. Sistem Mata Pencaharian

Secara umum mata pencaharian tradisional orang Simalungun sehari-hari adalah marjuma atau berladang dengan cara menebas hutan belukar (mangimas) yang mengolahnya untuk tanaman palawija seperti padi, jagung, ubi. Banyak proses yang harus dilalui ketika mereka membuka ladang baru dan keseluruhannya itu harus diketahui oleh gamot yang merupakan wakil raja di daerah (Purba, 1982:156). Biasanya, di antara perladangannya didirikan bangunan rumah tempat tinggal (sopou juma) sebagai tempat mereka sementara dan untuk melindungi mereka dari serangan binatang buas maupun menghalau binatang-binatang yang dapat merusak tanaman mereka. Selain itu ada juga yang mengolah persawahan (sabah) seperti di Purba Saribu dan Girsang Simpangan Bolon dengan luas yang relatif sedikit dengan cara-cara tradisional. Untuk memenuhi kebutuhan sandang pangan, mereka menenun pakaian (hiou) yang biasanya dilakukan oleh kaum ibu dan gadis-gadis. Mereka juga menumbuk padi bersama-sama dengan para pemuda di losung huta. Di sini biasanya, pada zaman dahulu para pemuda itu akan memilih pasangannya.

Guru Jason Saragih menceritakan dalam otobiografinya, orang Simalungun di hilir (jahei-jahei) juga sudah ada yang berdagang hasil hutan dari Simalungun ke Padang Badagei di dekat pesisir timur bahkan sampai ke Penang di Semenanjung Malaka. Pedagang dari Aceh, Bugis, Asahan, dan Cina datang dari Bandar Khalipah melayari Sungai Padang ke hulu. Mereka membawa barang-barang dagangan kain, bedil, mesiu, timah, pinggan pasu, pahar, dondang, garengseng, kuali bahkan candu (opium). Hal ini dibuktikan dengan dipakainya banyak mata uang asing dalam transaksi dagang di Simalungun. Di samping menggunakan uang sebagai alat penukar, mereka juga mengadakan tukar menukar barang secara langsung dengan sistem barter. Pada masa kecil Jaulung Saragih orang Simalungun sudah memakai mata uang asing dalam transaksi dagang, seperti mata uang Spanyol dan Inggris yang disebut: ringgit alus, ringgit burung, ringgit tuha, ringgit tukkot (Saragih, 1977:35-36). Banyak peralatan dan hiasan tradisional Simalungun yang berasal dari luar Sumatera Timur. Di pantai Laut Tawar (horisan) penduduk biasanya menangkap ikan yang disebut martoba dan sebagian ada juga yang menjualnya ke pasar (tiga), seperti Haranggaol, Tambunrea dan Ujungsaribu dekat perbatasan dengan Karo (Tongging Sipituhuta).

3. Kehidupan Sehari-hari

Dalam kehidupan sehari-hari orang Simalungun sering diejek sebagai pemalas, penakut, tidak punya inisiatif, kurang giat bekerja. Hendrik Kraemer (1958:55) dalam kunjungannya ke Tanah Batak selama bulan Februari-April 1930 melaporkan bahwa dibanding orang Batak Toba, orang Simalungun berwatak halus, lebih suka menyendiri di hutan dan kurang bersemangat secara alamiah ketimbang orang Toba di tengah-tengah keriuhan modernisasi. Walter Lempp (1976:52), menyebutkan watak atau tabiat orang Simalungun yakni: “Orang Simalungun lebih halus dan tingkah lakunya hormat sekali, tidak pernah keras dan meletus, meskipun sakit hati. Hal itu dimungkinkan karena suku Simalungun satu-satunya yang pernah dijajah oleh suatu kerajaan di Jawa yang berkedudukan di Tanah Jawa”. Pejabat kolonial Belanda, Kroesen menyebut adanya ungkapan orang Simalungun “Djawa Silepahipoen” membuktikan hal ini. Sebenarnya Djawa Silopakipon artinya Djawa giginya putih, sebab orang Simalungun memiliki kebiasaan untuk mengikir giginya dan melumurinya dengan “saloh” (getah kayu berwarna hitam) hingga giginya berubah menjadi hitam. C.Westenenk menyebut bahwa, pada tahun 1365 koloni Jawa Hindu sudah terdapat di Sumatera bagian Selatan yang mendesak orang Minangkabau berimigrasi hingga ke Sumatera Timur (Tideman, 1922: 58-60).

J. Tideman (1922:113-114) mengakui bahwa ada sifat yang kurang baik secara rohani maupun jasmani dari suku bangsa Simalungun (Timoer Bataks). Hal ini menurut Tideman disebabkan oleh tekanan yang begitu lama hingga bertahun-tahun antara lain oleh perbudakan (parjabolonan) dan peperangan. Selain itu, Tideman juga mengatakan bahwa praktek perjudian, candu merupakan penghambat kemajuan yang terbesar pada suku bangsa ini, khususnya di kalangan rakyat. Wabah penyakit juga menghambat mereka untuk lebih bersemangat dalam bekerja. Praktek kanibalisme yang banyak didengung-dengungkan oleh orang luar tentang suku-suku bangsa di pedalaman, menurut Tideman sudah tidak dipraktekkan lagi dan sesungguhnyalah bahwa orang Batak bukan kanibal sejati menurut anggapan sebagian orang.

Solidaritas suku bangsa Timur ini lebih rendah bila dibandingkan dengan orang Toba (Nota, 1909:538-539). Pengaruh kaum pendatang dan suku-suku bangsa tetangga juga turut membentuk karakter suku ini. Di dekat perbatasan dengan suku Batak Toba menonjol sifat-sifat Toba, demikian juga di dekat daerah orang Melayu di pesisir terasa adanya pengaruh agama Islam dan Melayu (Westenberg, 1904:9). Selain itu orang Simalungun juga kurang mau menonjolkan dirinya. Tentang kejujuran orang Simalungun berpedoman kepada falsafah hidup mereka yaitu “Habonaron do Bona, Hajungkaton do Sapata”. Orang yang tidak konsisten menjunjung tinggi falsafah ini diyakini akan mendapatkan hal-hal yang tidak baik. Falsafah ini juga berdampak pada pola pikir orang Simalungun yang sangat berhati-hati dalam mengambil suatu keputusan. Sesuatu keputusan barulah diambil setelah dipikirkan masak-masak, dan tidak akan mengingkarinya (Damanik, 1984:25-27). Sebagaimana dalam ungkapan Simalungun, “Parlobei idilat bibir ase marsahap, bijak mosor pinggol asal ulang mosor hata”. Ungkapan ini menunjukkan bahwa orang Simalungun bukanlah tipikal manusia yang semberono atau terburu-buru dalam mengambil dan menentukan sebuah kebijakan atau keputusan, seluruhnya harus dipikirkan masak-masak dan keputusan itu adalah tetap, artinya tidak akan pernah berubah lagi.

4. Struktur Sosial: “Tolu Sahundulan Lima Saodoran”

Masyarakat Simalungun dalam ikatan sosialnya terhisab ke dalam organisasi sosial yang disebut Tolu Sahundulan Lima Saodoran yang mengikat orang Simalungun dalam kekerabatan menurut adat istiadat Simalungun. Adapun Tolu Sahundulan itu terdiri dari : Tondong, Sanina, Boru. Sedangkan Lima Saodoran terdiri dari: Tondong, Tondong ni Tondong, Sanina, Boru dan Boru ni Boru (Anak Boru Mintori). Menurut D. Kenan Purba, adanya struktur (kerangka susunan) lembaga adat ini sekaligus memberi gambaran atau besar kecilnya suatu upacara adat itu menurut besar kecilnya perhelatan adat yang akan dilaksanakan.

Hubungan kekerabatan di kerajaan-kerajaan Simalungun diikat oleh hubungan kekerabatan lewat perkawinan (martondong-maranakboru). Hal ini dimungkinkan karena konsep puangbolon (permaisuri) dan puangboru (isteri yang pertama) yang merupakan prasyarat utama dalam menentukan seseorang menjadi pengganti raja sebelumnya. Untuk Kerajaan Raya dari marga Saragih Garingging, puang bolon haruslah puteri raja Panei, Badjalinggei atau Guru Raya dari marga Purba Dasuha, Kerajaan Purba dari marga Purba Pakpak haruslah putri raja Siantar dari marga Damanik, Kerajaan Dolog Silou dari marga Purba Tambak haruslah putri raja Raya dari marga Saragih Garingging, Kerajaan Panei dari marga Purba Dasuha haruslah putri raja Siantar marga Damanik, Kerajaan Siantar marga Damanik haruslah dari putri tuan Silampuyang atau Sipoldas dari marga Saragih Sidauruk dan Kerajaan Tanoh Jawa marga Sinaga Nadihoyong Hataran dari putri raja Siantar marga Damanik.

5.Stratifikasi Sosial

a.Golongan Partuanon (Upper Class)

Golongan bangsawan di tengah-tengah suku bangsa Simalungun disebut partuanon atau partongah. Partongah adalah yang dianggap sebagai kelas tertinggi di Simalungun. Baik partuanon maupun parbapaan status sosialnya ditentukan oleh hubungan darah antar keluarga kerajaan yang sesudah masuknya pemerintah kolonial Belanda dijadikan bagian dari distrik administratif pemerintah kolonial (Saragih, 1979:28). Raja dilihat oleh masyarakat Simalungun sebagai pribadi yang merupakan representasi kuasa ilahi di bumi dengan konsepsi “Naibata na taridah” (Tuhan yang kelihatan di bumi) dan itulah sebabnya kaum bangsawan (khususnya raja) disebut “toehanta” atau “radjanta” (toehannami atau radjanami/djanami). Liddle mengungkapkan adanya semacam pengakuan spontan dari masyarakat atau rakyat kerajaan bahwa apa pun yang raja lakukan dan perintahkan adalah hukum yang tidak dapat dibantah.

Wolfgang Clauss (1985:49) menyebut, kaum aristokrat tradisional Simalungun dipercaya dapat memberikan berkat dengan kekuatan supernatural power (kekuatan adikodrati) bersama penguasa bawahannya. Kebangsawanan Simalungun ditentukan oleh hubungan silsilah dari keturunan raja-raja mereka. Poligami merupakan hal yang umum di kalangan raja dan partuanon Simalungun, yang umumnya berasal dari puteri-puteri raja atau kaum bangsawan dari kerajaan atau partuanon lain, dalam rangka mempererat hubungan politik. Dari isteri-isteri raja, telah ditentukan satu di antaranya sebagai permaisuri utama yang disebut puangbolon yang biasanya sudah ditentukan menurut adat adalah puteri bangsawan dari kerajaan lain. Hanya putera yang dilahirkan puangbolon-lah yang menurut adat dapat diangkat menjadi raja (Tideman 1922: 108). Adapun isteri raja yang lainnya, diberi nama sesuai dengan kapasitas atau tugasnya sehari-hari di rumah bolon atau istana raja. Misalnya di Kerajaan Purba yang diperintah raja marga Purba Pakpak, puangbolon adalah putri raja Siantar bermarga Damanik dengan nasipuang yang lainnya, seperti: puang pardahan (yang mempersiapkan makanan untuk raja), puangparorot (khusus menjaga putera-puteri raja), puangpaninggiran (pemimpin pada upacara kesurupan dan paniaran), puang pamongkot (pemimpin upacara memasuki rumah baru), puang siappar apei (menggelar tikar di istana), puang siombah bajud (pemimpin pada saat upacara adat yang memakai sirih atau demban), puang bona (isteri pertama raja di mana putera yang dilahirkannya dapat diangkat menjadi raja apabila puang bolon tidak ada melahirkan putera raja), puang panangkut (isteri raja pimpinan upacara spiritual), puang mata (dengan tugas umum di rumah bolon), puang juma bolag (yang memimpin pekerjaan di ladang raja/juma bolag) (Purba, 1991:8). Pengaruh raja begitu kuatnya terhadap rakyatnya.

b. Golongan Paruma (Rakyat Kebanyakan/Middle Class)

Golongan menengah disebut paruma, yaitu masyarakat merdeka. Status mereka bebas yang membedakan mereka dengan jabolon (hamba sahaya). Posisi paruma tidak selamanya permanen, ada kalanya seorang paruma terangkat statusnya menjadi partuanon dengan faktor-faktor dan proses tertentu, seperti pada saat raja memberinya gelar kehormatan atau beroleh kepercayaan/mandat dari raja sebagai wakilnya di daerah dengan pertimbangan loyalitas atau karena perkawinan.

Paruma yang kaya (paruma dongok-dongok) sering menjadi objek pemerasan, sehingga berbelanja ke pasar (tiga) selalu diusahakannya untuk membawa uang seperlunya. Demikian pula dari hasil buruan wajib dilaporkan kepada raja dan menyisihkan sebagian darinya untuk raja yang disebut dongkei raja. Raja juga berhak untuk meminta apa saja yang ia inginkan dari paruma, termasuk anak gadisnya; umumnya paruma tidak banyak yang menolak, karena adalah suatu kehormatan besar apabila raja memanggil tondong kepada mereka. Selain itu, paruma juga harus siap sedia apabila sesewaktu raja memerintahkan mereka untuk memobilisasi umum berperang melawan kerajaan lain. Itulah sebabnya mengapa menjamurnya padepokan persilatan (hadiharon) di Simalungun ketika itu.

c. Golongan Jabolon (Hamba Sahaya/Lowest Class)

Sebelum dihapuskannya perbudakan di Simalungun sejak tanggal 1 Januari 1910 atas inisiatif kaum Kristen Simalungun kepada pemerintah kolonial Belanda, perbudakan adalah sesuatu yang lazim di Simalungun. Ini berkaitan dengan struktur masyarakat yang feodal. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang menjadi jabolon. Ter Haar (1933:7) yang pernah menjadi asisten residen di Simalungun menjelaskannya sebagai berikut: anakbabi, yaitu anak-anak terlantar yang tidak mempunyai orang tua yang jelas karena lahir dari perkawinan sumbang atau perzinahan, jabolon taban, yaitu orang yang menjadi budak karena kalah perang, jabolon gayang-gayang na tading, yaitu isteri dan anak laki-laki yang meninggalkan majikannya secara diam-diam dan akhirnya tertangkap kembali, jabolon ayoban, yaitu budak akibat kalah perang dan dijadikan sebagai rampasan, jabolon na dapot i parlintunan, yaitu budak yang melarikan diri dan tertangkap di perbatasan kerajaan, jabolon tarutang, yaitu budak akibat tidak dapat membayar hutang biasanya lazim karena kalah berjudi, jabolon tangga yaitu sekeluarga dijadikan budak karena alasan-alasan tertentu (Lihat juga Tideman, 1922:110-111).

Namun, secara umum kaum partongah dan orang-orang kayalah yang biasanya memiliki banyak budak yang disuruh untuk melakukan pekerjaan di rumah bolon atau di ladang raja. Di rumah bolon yang merupakan pusat sosial politik kerajaan Simalungun beratus-ratus budak dipekerjakan di sana. Dan masing-masing budak memiliki pimpinan masing-masing sebagai kordinator pekerjaan sehari-hari. Sebagai contoh di rumah bolon Kerajaan Raya pada zaman Tuan Rondahaim Saragih terdapat 100 budak laki-laki dan 100 budak perempuan, mereka sehari-hari melayani raja dan keluarganya serta seluruh gamot atau pejabat kerajaan (Saragih, 1977:259).

Umumnya para budak tinggal di rumah tersendiri yang diperuntukkan untuk kediaman mereka dan sangat sulit untuk menerima kebebasan mereka kembali, kecuali ada yang menebus mereka atau raja berkenan membebaskan mereka dari statusnya yang hina itu. Mereka juga dilarang untuk kawin di luar kelas mereka. Mereka dianggap sebagai milik majikannya dan bekerja tanpa diberikan upah. Perlakuan para raja dan majikan mereka kadang di luar prikemanusiaan dan pembangkangan terhadap perintah pimpinan tak jarang diganjar dengan hukuman yang sangat berat (Saragih, 1979:28-29).

Sumber :khairul ikhwan



Pengantar
Secara historis, terdapat tiga fase kerajaan yang pernah berkuasa dan memerintah di Simalungun. Berturut-turut fase itu adalah fase kerajaan yang dua (harajaon na dua) yakni kerajaan Nagur (marga Damanik) dan Batanghio (Marga Saragih). Berikutnya adalah kerajaan berempat (harajaon na opat) yakni Kerajaan Siantar (marga Damanik), Panai (marga Purba Dasuha), Silau (marga Purba Tambak) dan Tanoh Jawa (marga Sinaga). Terakhir adalah fase kerajaan yang tujuh (harajaon na pitu) yakni: kerajaan Siantar (Marga Damanik), Panai (marga Purba Dasuha), Silau (marga Purba Tambak), Tanoh Jawa (marga Sinaga), Raya (marga Saragih Garingging), Purba (marga Purba Pakpak) dan Silimakuta (marga Purba Girsang). Demikian pula halnya dalam mengurai asal muasal masyarakat Simalungun, yang banyak berpijak dan tergantung pada aspek diaspora masyarakat Batak (Toba) sehingga, raja dan kerajaan di Simalungun itu dinyatakan berasal dari Batak (Toba).


Padahal, secara struktur dan organisasi sosial, terdapat perbedaan yang sangat jelas antara kedua suku Batak tersebut, sehingga tidak dengan begitu saja menarik kesimpulan bahwa suku Simalungun merupakan diaspora Batak Toba yang sukses di perantauan sebagaimana yang banyak dilakukan oleh para penulis seperti JV. Vergouwen, Washinton Hutagalung, JR. Hutauruk, Batara Sangti maupun MO. Parlindungan yang kontroversial itu. Yang sangat mengesankan, jika bukan ironis adalah bahwa penulis Simalungun banyak pula yang mengutip pendapat tersebut sebagai sebuah fakta kebenaran tanpa melakukan penggalian lebih lanjut seperti yang dilakukan oleh TBA Purba Tambak dalam bukunya Sejarah Simalungun maupun oleh MD. Purba dalam berbagai bukunya yang diterbitkan untuk kalangan sendiri. Akibatnya, sejarah kebudayaan Simalungun menjadi rapuh dan tidak dapat berdiri sendiri.


Simalungun dalam Literatur
Dalam masyarakat Simalungun tidak terdapat begitu banyak literatur (pustaha) yang mengisahkan tentang riwayat kerajaan tersebut sehingga mengalami kesulitan dalam rekonstruksinya kemudian. Hanya saja, berdasarkan sejarah lisan yang hidup di tengah-tengah masyarakatnya bahwa setidaknya tiga fase yang disebutkan di atas pernah hidup, berkuasa dan memerintah. Sejarah lisan tersebut, agaknya menjadi pedoman bagi bangsa Eropa seperti Tideman (1922) untuk mengurai Simalungun dalam laporannya sebagai penguasa pada saat itu dan juga bagi penulis Simalungun berikutnya.

Oleh karenanya, masing-masing penulis sejarah di Simalungun membuat rekonstruksi sendiri atas kemauan sendiri dan kepentingan sendiri tanpa terikat waktu, tempat dan ruang. Akibatnya, sejarah tersebut sulit diterima secara umum dan apalagi dipergunakan sebagai rujukan dalam penulisan-penulisan demi kepentingan akademik ilmiah berikutnya.

Jika kemudian terdapat literatur yang mengetengahkan tentang kebudayaan Simalungun, yakni sejarah dan perkembangannya, maka hampir dapat dipastikan bahwa tulisan itu banyak mengadopsi pendapat-pendapat yang banyak ditulis oleh non Simalungun, dan tulisan itu pula banyak bersinggungan dengan pengaruh Agama Kristen yang dilakukan oleh rohaniawan Kristen Simalungun.

Literatur dari masa lampau Simalungun yang masih ada hingga saat ini seperti Pustaha Parpadanan Na Bolak (Hikayat Nagur), Partikkian Bandar Hanopan (Hikayat Silau), Partikian Panai Bolah (hikayat Panai) serta beberapa literatur yang disusun kembali serta ditransliterasi latin oleh JE. Saragih dalam pustaha lak-lak. Menurut Marim Purba, jumlah keseluruhan literatur yang membahas Simalungun, baik dari segi sejarah masa lampau dan masa kini, baik yang ada di luar negeri (Belanda) maupun di Museum Simalungun tak lebih dari 150 judul. Kesulitan lain dari beberapa pustaha tersebut adalah tidak memiliki angka tarikh (tahun) sehingga mengalami kegagalan dalam rekonstruksi kronologis kesejarahannya. Kenyataan ini sangat menyulitkan dalam rekonstruksi sejarah kebudayaan Simalungun berikutnya seperti yang banyak diakui oleh para penulis Simalungun masa kini. Oleh karena itu, diperlukan penggalian mendalam serta penelusuran secara herastik sehingga pelurusan sejarah tersebut dapat dilakukan kembali.

Leluhur Simalungun
Dalam sejarah masyarakat Batak (Toba) seperti yang telah banyak diketahui bahwa masyarakat Batak (Toba) adalah keturunan Siraja Batak yang beranak cucu kemudian menyebar ke berbagai penjuru di Sumatera Utara seperti Mandailing Angkola, Pak-pak Dairi, Karo, Simalungun dan Toba serta Nias. Belakangan, Nias menyatakan bahwa mereka bukan keturunan dari Siraja Batak berdasarkan perbedaan fisik dan budaya lainnya. Dengan begitu, ke lima sub etnik itu adalah merupakan diaspora dari Batak (Toba) yang menyebar ke berbagai wilayah di kawasan itu. Keadaan lain adalah adanya klaim, penarikan garis keturunan (genealogis) berdasarkan marga (clan) yang mengacu pada klan Batak (Toba) dimana semua klan yang ada pada sub etnik Batak tersebut seolah-olah memiliki kemiripan dan kesamaan.

Dalam penguraian sejarah moety masyarakat Batak seperti yang dilakukan oleh BA Simanjuntak dipaparkan bahwa leluhur nusantara (juga Batak) berasal dari dataran tinggi Yunan dekat hulu Sungai Mekong di Cotte dan Napur Hindia Belakang. Kemudian dengan alasan tertentu melakukan migrasi ke berbagai wilayah dan sebagian di antaranya tiba di wilayah nusantara yang menghuni wilayah pantai. Gelombang yang pertama memasuki wilayah nusantara (sebahagian tiba di Sumatera Utara) ini disebut dengan Protomelayu (Melayu dalam). Selanjutnya, dalam rentang waktu tertentu, gelombang migrasi serupa juga terjadi yang disebut dengan Deutromelayu (Melayu luar). Gelombang yang kedua serta memiliki peradaban yang lebih tinggi ini, kemudian mendesak protomelayu ke pedalaman.

Secara signifikan, dapat ditarik korelasi dimana gelombang yang pertama masuk itu pastilah berdiam di Selat Malaka, kemudian mereka terdepak ke daerah pedalaman oleh gelombang migrasi berikutnya hingga ke kawasan Simalungun. Dengan begitu, gelombang yang masuk ke Simalungun pun dapat dinyatakan mengalami dua gelombang, yakni gelombang proto Simalungun dan deutro Simalungun sampai pada akhirnya terbentuk neo Simalungun pasca revolusi berdarah 1946. Dengan begitu, kondisi ini lebih memungkinkan dan hampir mendekati kebenaran sejalan dengan sejarah penyebaran ras-ras umat manusia.

Sejalan dengan itu, sesuai dengan pendapat Uli Kozok (1992) (Profesor Filologi berkebangsaan Belanda) yang mengurangi bahwa di antara bahasa-bahasa Batak, bahasa Simalungun adalah bahasa yang lebih dulu terbentuk, maka asumsi ini menjadi masukan yang sangat berharga untuk merekonstruksi kembali sejarah Simalungun. Bahasa Simalungun lebih dekat dengan Bahasa Mandailing, dan lebih jauh jika dibanding dengan Bahasa Batak Toba, Karo ataupun Pak-pak. Itu berarti bahwa, kemungkinan suku bangsa Simalungun adalah suku yang pertama ada dibanding suku Batak lainnya. Kendati demikian, penggalian serta penelusuran yang lebih mendalam tentang hal ini senantiasa dilakukan sebagai upaya pelurusan sejarah, khususnya pada masyarakat kebudayaan Simalungun.

Monarhi Simalungun
Dalam literatur Simalungun (pustaha laklak) seperti Pustaha Parpadanan Na Bolak (pustaka tertua di Simalungun) yang mengisahkan hikayat kerajaan Nagur (kerajaan Tertua di Simalungun dinasti Damanik) dikisahkan bahwa sewaktu raja Nagur yakni Sormaliat ingin memiliki istri sekaligus sebagai puang bolon (permaisuri) dari putri pamannya (marboru tulang) yang ada di Negeri Padang Rapuhan. Untuk rencana ini, raja memerintahkan utusannya berangkat menuju negeri yang dituju untuk memberitahukan rencana tersebut.

Untuk sampai di negeri tujuan, dibutuhkan perjalanan selama tiga (bulan) dengan berjalan kaki. Berarti, dibutuhkan waktu selama enam bulan untuk kembali ke tempat semula yakni di negeri Hararasan (Kerasaan sekarang) tempat Kerajaan Nagur berdiri.

Dengan estimasi dan kalkulasi tertentu, maka kemungkinan negeri yang dituju adalah Mataram Lama (Medang Faihbhumi). Kejadian itu diperkirakan berlangsung sekitar tahun 550 M bersamaan dengan kejayaan kerajaan Mataram Lama pada waktu itu. Hal ini tentu saja sangat beralasan dimana terdapat kesamaan struktur kerajaan yang sama seperti di Jawa. Di Sumatera hal sedemikian tidak diketemukan dan apalagi di Sumatera Utara. Jika seandainya Padang Rapuhan yang dimaksud dalam hikayat itu adalah negeri Padang (Tebing Tinggi), maka perjalanan yang dibutuhkan tentulah tidak selama itu. Lagi pula, kota Tebing Tinggi tersebut yang dibuka oleh keturunan klan Saragih berkisar tahun 1200-an.

Jadi, berdasarkan penuturan yang terdapat pada hikayat Parpadanan na Bolak tersebut dapat diketemukan bahwa asal usul monarhi (kerajaan) di Simalungun tersebut telah bersentuhan dengan kerajaan yang ada di Pulau Jawa pada saat itu. Keadaan ini juga dipertegas dengan berbagai asumsi penulis Eropa, bahwa pengaruh Jawa telah ada dan berkembang di kawasan ini terbukti dengan penamaan salah satu area (Tanah Djawa) di Simalungun. Lagi pula, terdapat berbagai kesamaan dalam hal perangkat kebudayaan seperti pemakaian destar (gotong dan Bulang) dalam khasanah adat. Di samping itu, juga telah bersentuhan dengan pengaruh Sinkretis (Hindu-Jawa) seperti permainan Catur, meluku sawah dan lain-lain. Hal yang paling mengesankan adalah bahwa hewan korban dalam perangkat adat istiadatnya adalah ternak ayam.

Ini berarti bahwa, keadaan dimana kerajaan di Simalungun telah mengambil corak modern seperti layaknya sebuah negara yang memiliki perangkat-perangkat tertentu. Keadaan seperti ini tidak dimiliki suku lain seperti Tapanuli (Utara), Karo, Pak-pak, Mandailing Angkola sungguhpun mereka itu mengenal konsep raja. Dengan demikian, konsep raja dan kerajaan yang telah lama berdiri di Simalungun merupakan peninggalan dalam kebudayaannya sebagai dampak persentuhannya dengan budaya lain (Hindu-Jawa). Kendatipun pada akhirnya, kerajaan itu hancur dan lebur akibat peristiwa berdarah di Sumatera Timur yang lebih dikenal dengan peristiwa revolusi sosial, dimana pada saat itu, golongan bangsawan dikejar dan dibunuh serta pembakaran istana sebagai dampak economic lag yang terjadi antar kelas.

Keadaan seperti ini bukan semata-mata bertujuan untuk memutus mata rantai integritas serta harmoni kesukuan tetapi yang lebih dipentingkan adalah bagaimana sejarah itu dapat ditegakkan. Karena dari sanalah kita dapat mencapai fakta dan kebenaran sejarah sehingga tidak terjadi pengebirian sejarah di kemudian hari.
Oleh : Erond Litno Damanik MSi
Penulis: Pemerhati Pendidikan dan Pembangunan Sosial Direktur: Center for Cultural Study and Rural Community Development/The Simetri/d

Sumber : Harian SIB


Partuturan adalah cara suku Simalungun menentukan perkerabatan atau keteraturan yang merupakan bagian dari hubungan keluarga (pardihadihaon) dalam kehidupan sosialnya sehari-hari terutama dalam acara adat.


Asal-usul
Awalnya orang Simalungun tidak terlalu mementingkan soal “silsilah” karena penentu partuturan di Simalungun adalah “hasusuran” (tempat asal nenek moyang) dan "tibalni parhundul" (kedudukan/peran) dalam "horja-horja adat" (acara-acara adat). Hal ini dapat dilihat pada pertanyaan yang diajukan oleh seorang Simalungun di saat orang mereka saling bertemu, dimana bukan langsung bertanya “aha marga ni ham?” (apa marga anda) tetapi “hunja do hasusuran ni ham (dari mana asal-usul anda)?" Hal ini dipertegas lagi oleh pepatah Simalungun “Sin Raya, sini Purba, sin Dolog, sini Panei. Na ija pe lang na mubah, asal ma marholong ni atei” (dari Raya, Purba, Dolog, Panei. Yang manapun tak berarti, asal penuh kasih).

Sebagian sumber menuliskan bahwa hal tersebut disebabkan karena seluruh marga raja-raja Simalungun itu diikat oleh persekutuan adat yang erat oleh karena konsep perkawinan antara raja dengan “puang bolon” (permaisuri) yang adalah puteri raja tetangganya. Seperti raja Tanoh Djawa dengan puang bolon dari Kerajaan Siantar (Damanik), raja Siantar yang puang bolonnya dari Partuanan Silappuyang, Raja Panei dari Putri Raja Siantar, Raja Silau dari Putri Raja Raya, Raja Purba dari Putri Raja Siantar dan Silimakuta dari Putri Raja Raya atau Tongging.

Setelah marga-marga dalam suku Simalungun semakin membaur, partuturan semakin ditentukan oleh partongah-jabuan (pernikahan), yang mengakibatkan pembentukan hubungan perkerabatan antara keluarga-keluarga Simalungun.

Kategori partuturan
Partuturan dalam suku Simalungun di bagi ke dalam 3 kategori menurut kedekatan hubungan seseorang, yaitu

Tutur manorus (langsung)
Perkerabatan yang langsung terkait dengan diri sendiri.

Ompung: orangtua ayah atau ibu, saudara (kakak/adik) dari orangtua ayah atau ibu
Bapa/Amang: ayah
Inang: ibu
Abang: saudara lelaki yang lahir lebih dulu dari kita.
Anggi: adik lelaki; saudara lelaki yang lahir setelah kita.
Botou: saudara perempuan (baik lebih tua atau lebih muda).
Amboru: saudara perempuan ayah; saudara perempuan pariban ayah; saudara perempuan mangkela. Bagi wanita: orangtua dari suami kita; amboru dari suami kita; atau mertua dari saudara ipar perempuan kita.
Mangkela: suami dari saudara perempuan dari ayah
Tulang: saudara lelaki ibu; saudara lelaki pariban ibu; ayah dari besan
Anturang: istri dari tulang; ibu dari besan
Parmaen: istri dari anak; istri dari keponakan; anak perempuan dari saudara perempuan istri; amboru dan mangkela kita memanggil istri kita parmaen
Nasibesan: istri dari saudara (Ipar) lelaki dari istri kita atau saudara istri kita
Hela: suami dari puteri kita; suami dari puteri dari kakak/adik kita
Gawei/Eda: hubungan wanita dengan istri saudara lelakinya
Lawei: istri dari saudara lelaki
Botoubanua: puteri amboru; bagi wanita: putera tulang
Pahompu: cucu; anak dari botoubanua; anak pariban
Nono: pahompu dari anak (lelaki)[2]
Nini: cucu dari boru[3]
Sima-sima: anak dari Nono/Nini
Siminik: cucu dari Nono/Nini

Tutur holmouan (kelompok)
Melalui tutur Holmouan ini bisa terlihat bagaimana berjalannya adat Simalungun

Ompung Nini: ayah dari ompung
Ompung Martinodohon: saudara (kakak/adik) dengan ompung
Ompung Doli: ayah kandung dari ayah, kalau nenek perempuan disebut inang tutua
Bapa Tua: saudara lelaki paling tua dari ayah
Bapa Godang: saudara lelaki yang lebih tua dari ayah, di beberapa tempat biasa juga disebut bapa tua
Inang Godang: istri dari bapa godang
Bapa Tongah: saudara lelaki ayah yang lahir dipertengahan (bukan paling tua, bukan paling muda)
Inang Tongah: istri dari bapa tongah
Bapa Gian / Bapa Anggi: saudara lelaki ayah yang lahir paling belakang
Inang Gian / Inang Anggi: istri dari bapa gian/Anggi
Sanina / Sapanganonkon: saudara satu ayah/ibu
Pariban: sebutan bagi orang yang dapat kita jadikan pasangan (suami atau istri) atau adik/kakaknya
Tondong Bolon: pambuatan (orang tua atau saudara laki dari istri/suami) kita
Tondong Pamupus: pambuatan ayah kandung kita
Tondong Mata ni Ari: pambuatan ompung kita
Tondong Mangihut
Anakborujabu: sebagai pimpinan dari semua boru, anakborujabu dituakan karena bertanggung jawab pada tiap acara suka/duka Cita.
Panogolan: anak laki/perempuan dari saudara perempuan
Boru Ampuan: hela kandung yang menikahi anak perempuan kandung kita
Anakborumintori: istri/suami dari panogolan
Anakborumangihut: lawei dari botou
Anakborusanina

Tutur natipak (kehormatan)
Tutur natipak digunakan sebagai pengganti nama dari orang yang diajak berbicara sebagai tanda hormat.

Kaha: digunakan pada istri dari saudara laki-laki yang lebih tua. Bagi wanita, kaha digunakan untuk memanggil suami boru dari kakak ibu.
Nasikaha: digunakan istri kita untuk memanggil saudara laki kita yang lebih tua
Nasianggiku: untuk memanggil istri dari adik
Anggi
Ham: digunakan pada orang yang membesarkan/memelihara kita (orang tua) atau pada orang yang seumur yang belum diketahui hubungannya dengan kita
Handian: serupa penggunaannya dengan ham, tapi memiliki arti yang lebih luas.
Dosan: digunakan tetua terhadap sesama tetua
Anaha: digunakan tetua terhadap anak muda laki
Kakak: digunakan anak perempuan kepada saudara lakinya yang lebih tua
Ambia: Panggilan seorang laki terhadap laki lain yang seumuran
Ho: panggilan bagi orang yang sudah akrab (sakkan) atau pada orang yang derajadnya lebih rendah, kadang digunakan oleh suami pada istrinya
Hanima: sebutan untuk istri (kasar) atau pada orang yang berderajad lebih rendah dari kita (jamak, lebih dari seorang)
Nasiam: sebutan untuk yang secara kekerabatan berderajad di atas (jamak, lebih dari seorang)
Akkora: sebutan orang tua bagi anak perempuan yang dekat hubungan kekerabatannya
Abang: panggilan pada saudara laki yang lebih tua atau yang berderajad lebih dari kita
Tuan: dulu digunakan untuk memanggil pemimpin huta (kampung), atau pada keturunan Raja
Sibursok: sebutan bagi anak laki yang baru lahir
Sitatap: sebutan bagi anak perempuan yang baru lahir
Awalan Pan/Pang: sebutan bagi seorang Laki yang sudah memiliki Anak, misal anaknya Ucok, maka Ayahnya disebut pan-Ucok/pang-Ucok.
Awalan Nang/Nan: sebutan bagi seorang perempuan yang sudah memiliki anak, misal anaknya Ucok, maka ibunya disebut nan-Ucok/nang-Ucok.

Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Partuturan"

Kabupaten Simalungun adalah sebuah kabupaten di Sumatra Utara, Indonesia. Bupatinya saat ini adalah Drs. T. Zulkarnaen Damanik MM yang sedang bertugas untuk masa bakti 2005–2010. Wakil bupati Pardamean Siregar,SP yang juga Ketua KNPI Simalungun.
Ibu kota kabupaten masih berada di Kota Pematangsiantar yang telah berstatus kotamadya. Setelah tertunda selama beberapa waktu, Ibukota kabupaten ini direncanakan untuk dipindahkan ke Sondi Raya pada tahun 2008.


Geografi
Kabupaten ini memiliki 30 kecamatan dengan luas 438.660 ha atau 6,12 % dari luas wilayah Provinsi Sumatra Utara. Kecamatan yang paling luas adalah Kecamatan Tanah Jawa dengan luas 49.175 ha, sedangkan yang paling kecil luasnya adalah Kecamatan Dolok Pardamean dengan luas 9.045 ha. Keseluruhan kecamatan terdiri dari 306 desa dan 17 kelurahan. Di Kabupaten ini juga terdapat sebuah universitas, yaitu Universitas Simalungun, tepatnya di Jalan Sisingamangaraja.

Batas wilayah
Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Serdang Bedagai
Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Asahan
Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Toba Samosir
Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Karo

Potensi Ekonomi
Potensi ekonomi kabupaten Simalungun sebagian besar terletak pada produksi pertaniannya. Produksi lainnya termasuk tanaman pangan, perkebunan, pertanian lainnya, industri pengolahan, serta jasa.

Produksi Padi di Kabupaten Simalungun merupakan produksi terbesar kedua di Sumatera Utara pada tahun 2003 sesudah Kabupaten Deli Serdang.[1]

Produksi Kelapa sawit dari perkebunan yang ada di kabupaten ini menjadi komoditas utama, kedua terbesar di Sumatera Utara setelah Kabupaten Labuhan Batu (2001) [2]. Selain memproduksi Kelapa Sawit, perkebunan rakyat di Simalungun juga menghasilkan Karet dan Cokelat, selain Teh (Kecamatan Raya dan Sidamanik) yang jumlah produksinya semakin menurun. Penjualan hasil tani Karet dibantu oleh kehadiran PT Good Year Sumatra Plantations (didirikan 1970) yang biarpun memiliki perkebunan sendiri tetapi tetap menampung hasil perkebunan rakyat dan mengolahnya menjadi bahan setengah jadi sebelum menjualnya ke luar daerah.



HAK CIPTA : Ny.St.B Manihuruk/Anta br Damanik

GKPS Hutaimbaru, Kecamatan Selimakuta, Kabupaten Simalungun
============================================================
1. Urat ni gatap tano, rongging marsiranggoman
Age pe padao-dao, Tondyttai tong marsigomgoman

2. Ia bagod i nakkih, ilambung ni sampuran
Ia jaman on jaman canggih, ulang lupa hubani Tuhan

3. Halambir ni sindamak, ikuhur dop ibola
Sinaha pe nini halak, ulang lupa bani horja

4. Juma ni Tigarunggu, tubuhan lata-lata
Rajin ma hita mar minggu, ase tong-tong ihasomani Tuhanta

5. Sinjata ni Indonesia, mariam dohot mortir
Andohar Indonesia jaya, Rakyat ni pe homa makmur


6. I lambung passa-passa, Tubu bonani tobu
Age aha pe namasa, Hita ulang mahua

7. Ratting ni hayu bor-bor, ibaen hu pingging pasu
Anggo rajin martonggo, Jumpahan pasu-pasu

8. Boras ibagas supak, ibaen huparasanding
Horas nasiam na mulak, horas homa hanami na tading

9. Boras ni purba tua, iboan hu tiga balata
Horas ma hita sayur matua, itumpak-tumpak Naibatanta

10.Andor hadukka ma togu-togu ni lombu, togu-togu ni horbo, itogu hu Ajibata
Horas ma hita sayur matua, patogu-togu pahompu, das mar nini mar nono, ipasu-
pasu Naibatanta

11. Urat ni nangka, urat ni hotang
Hujape hita manlangkah, sai dapot-dapotan

12. Tubuh ma sanggar dohot tobu, dohor hupagar kawat
Tubuh ma anak pakon boru, jadi jolma na marpangkat

13. Urat ni riba dagei iboan hu Sukadame
Ulang bei sai marbadai, sai roh ma uhur dame

14. Dalan hua Ajibata, adong do tubuh Pisang
Anggo domma marrumah tangga, ulang ma adong hata mandok sirang

15. Tubu sanggar dohot tobu i dolok-dolok
Tubu ma anak pakon boru na mok-mok.
16. Arirang ni palia, madek-dek hu bong-bongan
Age adong parsalisihan, ulang mar sidom-doman

17. Tubu ma sanggar dohot tobu, parasaran ni piduk
Tubu ma anak pintar dohot boru na bisuk

18. Tubuh ma silanjuyang, itagil lang ra melus
Aha pe lang na hurang, anggo marhasoman Jesus

19. Sada sikortas kajang, padua kortas hulipat
Sadokah ham marlajang, sada ham do hansa na hudingat.

20. Habang ma anduhur, sogop hu goring-goring
Anggo pusuk uhur, eta ham mandoding-doding

21. Hondor ma langge mu, i dolok si Marsolpah
Holong ni atei mu, ingaton ku do ai madokah

22. Sihala sibarunje, ruak sihala bolon
Santabi ma bani umbei, dear nalang tarhorom

23. Itampul bulu lihom, bulung ni irantingkon
Hatamu do masihol, hape uhur mu manadingkon

24. Sedo lak-lak hasundur, haronduk ni buluk ku
Sedo halak hu sukkun, harosuh ni uhurhu

25. Tumpak ni piring ledeng, paledang-ledang pahu
Loja do hapeni inang, pagodang-godang kon au

26. Laklak itallik-tallik, i lambung ni pea-pea
halak na tahan marsik, ujungni jadi jolma na hasea

27. Lak-lakni tamba tua, hoppa mambuat kuah
Pasangap orang tua, tong-tong dapotan tuah

28. Lampuyang sakaranjang, bulung ni seng sadiha
Akkula do marganjang, uhur seng ope sadiha

29. Marboras ma halawas, i jual hu Belanda
Horas ma nasiam martugas, haganupan wartawan
30. Haporas ni silongkung, i huning i tubai
Anggo domma harosuh, ulang isumengi, lang ibadai

31. Isuan ma timbaho, isuan manoran-noran
Paubah ma parlaho, ulang songon sapari, ase iharosuhkon hasoman

32. Talaktak porling, sogop i bukkulan ni sopo
Indahan ni mata do borngin, ulang lalap ibodei lapo

33. Ulang ihondor gumba, timbaho sihondoran
Ulang martonggo rupa, parlaho do sitonggoran

34. Anduhur pinurputan, tading iparsobanan
Anggo uhur tinurutan, lang mar parsaranan

35. Rage anak ni bintang, rage so hapulhitan
Buei do hata namantin, paima tangan dapotan

36. Timbaho ni simarban, ulang mago sanrigat
Age lingot panonggor, ulang lupa pardingat

37. Boras sabur-saburan, iboban ni pinggan pasu
Horas hita ganupan, sai jumpahan pasu-pasu

38. Itarik gula, itanik songon tali
Age pe otik nasinari, ulang marsurei

39. Irlak-irlak ma senter, itoru ni durian
Lang adong labuni jenges, anggo talu do ujian

40. Initak ma sambor-bor, boras ronggit-ronggitan
Ijon hita manortor, ulang be borit-boritan

41. Lang be tartalgis hon, pagaman ma na ronggos hon
lang be tartangishon, paganan ma na tor-torhon

42. Habang ma kapal terbang, mamboan pinggan pasu
Age daoh ham marlajang, ulang lupa ham hubakku.

Purba adalah marga atau morga dari suku Simalungun yang aslinya berasal dari daerah yang bernama Simalungun di provinsi Sumatera Utara, Indonesia.

Asal-Usul

[sunting] Etimologi
Secara Etimologi Purba berasal dari bahasa Sansekerta, purwa yang berarti timur. Arti lainnya adalah gelagat masa datang, pegatur, pemegang Undang-undang, tenungan pengetahuan, cendekiawan/sarjana.


Kerajaan Purba

Rumah Bolon Raja Purba di Pematang Purba, Simalungun.Purba adalah marga dari Raja di kerajaan Banua Purba, salah satu kerajaan yang pernah ada di daerah Simalungun. Raja Purba memiliki keturunan: Tambak, Sigumonrong, Tua, Sidasuha (Sidadolog, Sidagambir). Kemudian ada lagi Purba Siborom Tanjung, Pakpak, Girsang, Tondang, Sihala, Raya.

Pada abad ke-18 ada beberapa marga Simamora dari Bakkara melalui Samosir untuk kemudian menetap di Haranggaol dan mengaku dirinya Purba. Purba keturunan Simamora ini kemudian menjadi Purba Manorsa dan tinggal di Tangga Batu dan Purbasaribu.

Raja-Raja Kerajaan Purba :

Tuan Pangultop Ultop (1624-1648)
Tuan Ranjiman (1648-1669)
Tuan Nanggaraja (1670-1692)
Tuan Batiran (1692-1717)
Tuan Bakkaraja (1718-1738)
Tuan Baringin (1738-1769)
Tuan Bona Batu (1769-1780)
Tuan Raja Ulan (1781-1769)
Tuan Atian (1800-1825)
Tuan Horma Bulan (1826-1856)
Tuan Raondop (1856-1886)
Tuan Rahalim (1886-1921)
Tuan Karel Tanjung (1921-1931)
Tuan Mogang (1933-1947)

[sunting] Submarga Purba
Purba terdiri dari banyak sub-marga, antara lain:

Girsang
Girsang Jabu Bolon
Girsang Na Godang
Girsang Parhara
Girsang Rumah Parik
Girsang Bona Gondang
Pakpak
Raya
Siboro
Siborom Tanjung
Sidasuha
Sidadolog
Sidagambir
Sigumonrong
Sihala
Silangit
Tambak
Tambun Saribu
Tanjung
Tondang
Tua
dan lain-lain (silahkan ditambah)
Selain dari sub marga di atas, beberapa suku yang hidup di sekitar daerah Simalungun juga berbaur dengan penduduk bermarga Purba dan mengakibatkan timbulnya afiliasi marga-marga lain dengan marga Purba, antara lain: Manorsa, Simamora, Sigulang Batu, Parhorbo, Sitorus dan Pantomhobon.


[sunting] Purba Tanjung
Purba Tanjung berasal dari Sipinggan, Simpang Haranggaol, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun. Beberapa sumber menyatakan bahwa "Tanjung" pada marga ini berasal dari lokasi kampung Sipinggan yang merupakan sebuah Tanjung di Danau Toba, arah Haranggaol.

Keturunan Purba Tanjung berasal dari garis keturunan Ompung Marsahan Omas (dalam bahasa Indonesia berarti Bercawan Emas, karena kebiasaannya minum dari cawan Emas), yang adalah keturunan Purba Parhorbo. Marsahaan Omas memiliki keturunan bernama Bongguran yang memiliki kebiasaan "maranggir" (mandi air jeruk purut) di sekitar kampung Nagori, dengan menggunakan cawan emas.

Marsahan Omas memiliki 3 keturunan:

Tuan Siborna
Nahoda Raja
Namora Soaloon
Nahoda Raja memiliki anak bernama Raja Omo yang merupakan Purba Tanjung pertama yang bermukim di Sipinggan.

Daftar silsilah Purba Tanjung adalah sebagai berikut:

Raja Omo
Raja Girahma
Raja Na Ijombai Gabur
Raja Napinajongjong
Raja Silou
Raja Lela
Raja Pusia
Paulus Purba Tanjung (6 bersaudara)
Markus Purba Tanjung (P Siantar)
James M. Purba Tanjung (Bandung)
Gabriel Radewa Purba Tanjung (bandung)

[sunting] Tokoh terkenal
Juniver Girsang, Advokat
Junimart Girsang, Advokat
Yan Apul H. Girsang, Advokat dan Pengajar
Pdt. Belman Purba Dasuha, Ephorus GKPS 2005-2010
Ir. Guntur S. Siboro, ME,MBA, Professional, Direktur PT. Indosat, Tbk
Drs. Jabintang Siboro, Birokrat dan Tokoh Marga Siboro se - JABODETABEK
Drs. James P. Siboro, Konsultan Keuangan dan Tokoh Marga Siboro se - JABODETABEK
Drs. Slamat Purba Siboro, Birokrat Keuangan
Rusman Purba Siboro, SH, Ahli Hukum
Polim Siboro,SH, Birokrat
AKBP. Mestron Siboro, SH
Drs. Makmur Adrianus Siboro., MEngSc, Birokrat
Ir. Laras Siboro, Professional, PT. Telkom, Tbk
Kompol Kolestra Siboro, SH (Polri)
Kapten (Mar) Suparman Siboro

Sinaga adalah salah satu marga suku Simalungun. Marga Sinaga merupakan bagian dari perkumpulan empat marga besar SISADAPUR. Pada versi lain, menurut suku Batak Toba marga Sinaga merupakan salah satu klan dari turunan Raja Lontung yang memiliki tujuh anak yaitu Sinaga, Situmorang, Pandiangan, Nainggolan, Siregar, Simatupang, dan Aritonang serta 2 boru yaitu Sihombing dan Simamora. Sinaga memiliki keturunan yaitu Sinaga Bonor, Sinaga Op. Ratus, dan Sinaga Uruk

Asal-usul

Menurut beberapa sumber, marga Sinaga berasal dari salah seorang Raja Goraha (Panglima) dari Raja Nagur yang dijadikan menantu oleh Raja Nagur dan selanjutnya mendirikan kerajaan Tanoh Djawa.



Adapun Sinaga menjadi salah satu dari 4 marga asli suku Simalungun saat terjadi “Harungguan Bolon” (permusyawaratan besar) antara 4 raja besar (Raja Nagur, Raja Banua Sobou, Raja Banua Purba, Raja Saniang Naga) untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan (marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup mangimbang munssuh).

Keturunan dari Raja Saniang Naga di atas adalah marga Sinaga di Kerajaan Tanah Jawa, Batangiou di Asahan. Saat kerajaan Majapahit melakukan ekspansi di Sumatera pada abad XIV, pasukan dari Jambi yang dipimpin Panglima Bungkuk melarikan diri ke kerajaan Batangiou dan mengaku bahwa dirinya adalah Sinaga. Menurut Taralamsyah Saragih, nenek moyang mereka ini kemudian menjadi raja Tanoh Djawa dengan marga Sinaga Dadihoyong setelah ia mengalahkan Tuan Raya Si Tonggang marga Sinaga dari kerajaan Batangiou dalam suatu ritual adu sumpah (Sibijaon).[1]

Beberapa sumber mengatakan bahwa Sinaga keturunan raja Tanoh Djawa berasal dari India, salah satunya adalah menurut Tuan Gindo Sinaga keturunan dari Tuan Djorlang Hatara. Beberapa keluarga besar Partongah Raja Tanoh Djawa menghubungkannya dengan daerah Naga Land (Tanah Naga) di India Timur yang berbatasan dengan Myanmar yang memang memiliki banyak persamaan dengan adat kebiasaan, postur wajah dan anatomi tubuh serta bahasa dengan suku Simalungun dan Batak lainnya.[2]


[sunting] Submarga Sinaga
Perbauran suku asli Simalungun dengan suku-suku di sekitarnya menimbulkan afiliasi marga-marga lain dengan Sinaga. Marga-marga tersebut antara lain Sipayung, Sihaloho, Sinurat, dan Sitopu.


Saktiawan Sinaga
[sunting] Tokoh terkenal
Dolorosa Sinaga, pematung terkenal Indonesia
MSM Sinaga, mantan Bupati Kabupaten Tapanuli Utara
Saktiawan Sinaga, atlet sepak bola anggota tim nasional Indonesia


Saragih adalah marga atau morga dari suku Simalungun yang aslinya berasal dari daerah yang bernama Simalungun di provinsi Sumatera Utara, Indonesia.
Etimologi
Secara Etimologis, Saragih berasal dari "simada ragih" dalam bahasa Simalungun, yang mana "ragih" berarti atur, susun, tata, sehingga simada ragih berarti pemilik aturan atau pengatur, penyusun atau pemegang undang-undang.

Asal-usul
Beberapa versi sumber sejarah menyatakan bahwa leluhur marga saragih berasal dari Selatan India, yang melakukan perjalanan ke Sumatera Timur ke daerah Aceh, Langkat, daerah Bangun Purba, hingga ke Bandar Kalifah sampai Batubara.



Akibat desakan suku setempat, mereka kemudian bergerak ke daerah pinggiran Toba dan Samosir[1].

Marga Saragih pertama (Hasusuran-1) itu sendiri muncul saat salah seorang Puanglima (Panglima) dari kerajaan Nagur dijadikan menantu oleh Raja Nagur dan selanjutnya mendirikan satu kerajaan baru di Raya (di sekitar daerah yang kini disebut Pematang Raya, Simalungun).

Daftar Raja Kerajaan Raya:

Tuan Si Pinang Sori
Raja Raya, Tuan Lajang Raya
Raja Raya Simbolon (Namanya memakai nama wilayah kerajaannya, sebab tidak diketahui lagi siapa nama aslinya)
Raja Gukguk
Raja Unduk
Raja Denggat
Raja Minggol
Raja Poso
Raja Nengel
Raja Bolon
Raja Martuah
Raja Raya Tuan Morahkalim
Raja Raya Tuan Jimmahadim, Tuan Huta Dolog
Raja Raya Tuan Rondahaim
Raja Raya Tuan Sumayan (Kapoltakan)
Raja Raya Tuan Gomok (Bajaraya)
Tuan Yan Kaduk Saragih Garingging

Suku Batak Toba mengklaim bahwa marga Saragih dari suku Simalungun berasal dari Samosir (daerah yang dipercayai sebagai asal-usul suku Batak Toba) dan termasuk kelompok marga-marga yang disebut Parna (PomparAn ni Raja Nai Ambaton). Paham ini banyak ditentang oleh Marga Saragih karena belum adanya dokumen yang mendukung hal ini dan terutama karena bertentangan dengan isi pustaha (dokumen tua Simalungun) dan buku tarombo (silsilah dan sejarah marga) yang diteruskan secara turun temurun di kalangan marga Saragih.


[sunting] Submarga Saragih
Saragih terdiri dari banyak sub-marga, antara lain:

Garingging
Dasalak
Dajawak
Munthe
Rumahorbo
Siadari
Siallagan
Sidabalok
Sidabukke
Sidabutar
Sidahuruk
Sigalingging
Sijabat
Simanihuruk
Simarmata
Sitanggang
Sitio
Sumbayak
Tamba
Tinambunan
Turnip
Dan lain-lain (silahkan ditambah)

[sunting] Tokoh terkenal

Pendeta J. Wismar Saragih SumbayakTokoh-tokoh terkenal yang termasuk dalam marga Saragih adalah:

"Bill" Amirsjah Rondahaim Saragih Garingging, musisi jazz terkenal yang lama merantau ke luar negri.
Prof. Dr. Bungaran Saragih, menteri Pertanian di kabinet Indonesia Bersatu dan Kabinet Gotong Royong Pemerintahan Indonesia.
Edy Aman Saragih, Bupati pertama Kabupaten Nias Selatan.
Guru Jason Saragih, Bapak / Pelopor Pendidikan Simalungun.
Henry Saragih, koordinator Internasional La Via Campesina dan Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI).
Pdt. Jaulung Wismar Saragih Sumbayak
Orang Simalungun pertama yang menjadi seorang pendeta.
Penyusun Kamus Simalungun pertama.
Salah seorang penterjemah Alkitab ke dalam bahasa Simalungun.
Tokoh budaya Simalungun.
Kimar Saragih, wakil ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Kristupa Saragih, fotografer terkenal Indonesia dan pengasuh dari fotografer.net.
TS Mardjans Saragih, mantan Danrem Kalimantan Barat dan Kasdam Tanjung Pura.
Tuan Rondahaim Saragih Garingging, raja Raya, pejuang yang ditunjuk menjadi raja goraha (panglima perang) kerajaan-kerajaan di Simalungun dalam melawan Belanda.

Damanik adalah marga atau morga dari suku Simalungun yang aslinya berasal dari daerah yang bernama Simalungun di provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Damanik berarti Simada Manik (pemilik manik), yang mana dalam bahasa Simalungun Manik berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat, berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas).


Asal-usul
Beberapa versi sumber sejarah menyatakan bahwa leluhur marga Damanik dan marga-marga lain dalam Suku Simalungun berasal dari Nagore (India Selatan) dan pegunungan Assam (India Timur) di sekitar abad ke-5, menyusuri Birma, ke Siam dan Malaka untuk selanjutnya menyeberang ke Sumatera Timur dan mendirikan kerajaan Nagur dari Raja dinasti Damanik.

Tuan Taralamsyah Saragih menceritakan bahwa rombongan yang terdiri dari keturunan dari 4 Raja-raja besar dari Siam dan India ini bergerak dari Sumatera Timur ke daerah Aceh, Langkat, daerah Bangun Purba, hingga ke Bandar Kalifah sampai Batubara.


Pada abad ke-12, keturunan Raja Nagur mendapat serangan dari Raja Rajendra Chola dari India, yang mengakibatkan terusirnya mereka dari Pamatang Nagur di daerah Pulau Pandan hingga terbagi menjadi 3 bagian sesuai dengan jumlah puteranya:[2]

Marah Silau (yang menurunkan Raja Manik Hasian, Raja Jumorlang, Raja Sipolha, Raja Siantar, Tuan Raja Sidamanik dan Tuan Raja Bandar)
Soro Tilu (yang menurunkan marga raja Nagur di sekitar gunung Simbolon: Damanik Nagur, Bayu, Hajangan, Rih, Malayu, Rappogos, Usang, Rih, Simaringga, Sarasan, Sola)
Timo Raya (yang menurunkan raja Bornou, Raja Ula dan keturunannya Damanik Tomok)
Selain itu datang marga keturunan Silau Raja, Ambarita Raja, Gurning Raja, Malau Raja, Limbong, Manik Raja yang berasal dari Pulau Samosir dan mengaku Damanik di Simalungun.

Harungguan Bolon
Terdapat empat marga asli suku Simalungun yang populer dengan akronim SISADAPUR, yaitu:

Sinaga
Saragih
Damanik
Purba

Keempat marga ini merupakan hasil dari “Harungguan Bolon” (permusyawaratan besar) antara 4 raja besar untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan (marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup mangimbang munssuh).



Keempat raja itu adalah:

1. Raja Nagur bermarga Damanik
Damanik berarti Simada Manik (pemilik manik), dalam bahasa Simalungun, Manik berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat, berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas).
Raja ini berasal dari kaum bangsawan India Selatan dari Kerajaan Nagore. Pada abad ke-12, keturunan raja Nagur ini mendapat serangan dari Raja Rajendra Chola dari India, yang mengakibatkan terusirnya mereka dari Pamatang Nagur di daerah Pulau Pandan hingga terbagi menjadi 3 bagian sesuai dengan jumlah puteranya:


Marah Silau (yang menurunkan Raja Manik Hasian, Raja Jumorlang, Raja Sipolha, Raja Siantar, Tuan Raja Sidamanik dan Tuan Raja Bandar)
Soro Tilu (yang menurunkan marga raja Nagur di sekitar gunung Simbolon: Damanik Nagur, Bayu, Hajangan, Rih, Malayu, Rappogos, Usang, Rih, Simaringga, Sarasan, Sola)
Timo Raya (yang menurunkan raja Bornou, Raja Ula dan keturunannya Damanik Tomok)
Selain itu datang marga keturunan Silau Raja, Ambarita Raja, Gurning Raja, Malau Raja, Limbong, Manik Raja yang berasal dari Pulau Samosir dan mengaku Damanik di Simalungun.

2. Raja Banua Sobou bermarga Saragih
Saragih dalam bahasa Simalungun berarti Simada Ragih, yang mana Ragih berarti atur, susun, tata, sehingga simada ragih berarti Pemilik aturan atau pengatur, penyusun atau pemegang undang-undang.
Keturunannya adalah:

Saragih Garingging yang pernah merantau ke Ajinembah dan kembali ke Raya.
Saragih Sumbayak keturunan Tuan Raya Tongah, Pamajuhi, dan Bona ni Gonrang.
Saragih Garingging kemudian pecah menjadi 2, yaitu:

Dasalak, menjadi raja di Padang Badagei
Dajawak, merantau ke Rakutbesi dan Tanah Karo dan menjadi marga Ginting Jawak.
Walaupun jelas terlihat bahwa hanya ada 2 keturunan Raja Banua Sobou, pada zaman Tuan Rondahaim terdapat beberapa marga yang mengaku dirinya sebagai bagian dari Saragih (berafiliasi), yaitu: Turnip, Sidauruk, Simarmata, Sitanggang, Munthe, Sijabat, Sidabalok, Sidabukke, Simanihuruk.

Ada satu lagi marga yang mengaku sebagai bagian dari Saragih yaitu Pardalan Tapian, marga ini berasal dari daerah Samosir.

3. Raja Banua Purba bermarga Purba
Purba menurut bahasa berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Purwa yang berarti timur, gelagat masa datang, pegatur, pemegang Undang-undang, tenungan pengetahuan, cendekiawan/sarjana.
Keturunannya adalah: Tambak, Sigumonrong, Tua, Sidasuha (Sidadolog, Sidagambir). Kemudian ada lagi Purba Siborom Tanjung, Pakpak, Girsang, Tondang, Sihala, Raya.

Pada abad ke-18 ada beberapa marga Simamora dari Bakkara melalui Samosir untuk kemudian menetap di Haranggaol dan mengaku dirinya Purba. Purba keturunan Simamora ini kemudian menjadi Purba Manorsa dan tinggal di Tangga Batu dan Purbasaribu.

4. Raja Saniang Naga bermarga Sinaga atau Tanduk Banua (terletak di perbatasan Simalungun dengan tanah Karo)
Sinaga berarti Simada Naga, dimana Naga dalam mitologi dewa dikenal sebagai penebab Gempa dan Tanah Longsor.
Keturunannya adalah marga Sinaga di Kerajaan Tanah Jawa, Batangiou di Asahan.

Saat kerajaan Majapahit melakukan ekspansi di Sumatera pada abad ke-14, pasukan dari Jambi yang dipimpin Panglima Bungkuk melarikan diri ke kerajaan Batangiou dan mengaku bahwa dirinya adalah Sinaga.

Menurut Taralamsyah Saragih, nenek moyang mereka ini kemudian menjadi raja Tanoh Djawa dengan marga Sinaga Dadihoyong setelah ia mengalahkan Tuan Raya Si Tonggang marga Sinaga dari kerajaan Batangiou dalam suatu ritual adu sumpah (Sibijaon).Tideman, 1922

Beberapa Sumber mengatakan bahwa Sinaga keturunan raja Tanoh Djawa berasal dari India, salah satunya adalah menrurut Tuan Gindo Sinaga keturunan dari Tuan Djorlang Hatara.

Beberapa keluarga besar Partongah Raja Tanoh Djawa menghubungkannya dengan daerah Nagaland (Tanah Naga) di India Timur yang berbatasan dengan Myanmar yang memang memiliki banyak persamaan dengan adat kebiasaan, postur wajah dan anatomi tubuh serta bahasa dengan suku Simalungun dan Batak lainnya.

Marga-marga perbauran
Perbauran suku asli Simalungun dengan suku-suku di sekitarnya di Pulau Samosir, Silalahi, Karo, dan Pakpak menimbulkan marga-marga baru. Marga-marga tersebut yaitu:

Saragih: Sidauruk, Sidabalok, Siadari, Simarmata, Simanihuruk, Sidabutar, Munthe dan Sijabat
Purba: Manorsa, Simamora, Sigulang Batu, Parhorbo, Sitorus dan Pantomhobon
Damanik: Malau, Limbong, Sagala, Gurning dan Manikraja
Sinaga: Sipayung, Sihaloho, Sinurat dan Sitopu
Selain itu ada juga marga-marga lain yang bukan marga Asli Simalungun tetapi kadang merasakan dirinya sebagai bagian dari suku Simalungun, seperti Lingga, Manurung, Butar-butar dan Sirait.

Zaman raja-raja Simalungun, orang yang tidak jelas garis keturunannya dari raja-raja disebut “jolma tuhe-tuhe” atau “silawar” (pendatang). Zaman dahulu mereka ini akibat hukum marga yang keras di Simalungun menyatukan dirinya dengan marga raja-raja agar mendapat hak hidup di Simalungun.
Demikianlah sehingga makin bertambah banyak marga di Simalungun. Tetapi meski demikian sejak dahulu hanya ada empat marga pokok di Simalungun yakni Sisadapur : Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba.

Setelah raja-raja dikuasai Belanda sejak ditandatanganinya Korte Verklaring (Perjanjian Pendek) tahun 1907 dan dihapuskannya kerajaan/feodalisme dalam aksi Revolusi Sosial tanggal 3 Maret 1946 sampai April 1947, peraturan tentang marga itu hapus di Simalungun. Masing-masing marga kembali lagi ke marga aslinya dan ke sukunya semula.

Penambahan Marga
Pada tahun 1930, Pdt. J. Wismar Saragih pernah menuliskan surat permohonan pada kumpulan Raja-Raja Simalungun yang berkumpul di Pematang Siantar yang meminta agar Raja-Raja tersebut menetapkan marga-marga baru sebagai tambahan kepada marga resmi Simalungun dengan maksud agar semakin banyak marga Simalungun seperti pada suku lain. Walaupun ide tersebut diterima oleh Raja-Raja tersebut namun permohonan J. Wismar Saragih belum disetujui karena belum tepat waktunya.

Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Simalungun