JR Ditantang Tutup Lokalisasi Bukit Maraja
Garama ParRaya
8:54 AM
0
KASUS 3 GADIS DIPAKSA JADI PSK
JR Ditantang Tutup Lokalisasi Bukit Maraja
SIMALUNGUN – Kejahatan human trafficking (perdagangan manusia) yang dialami Rose, Mawar, Melati (ketiganya nama samaran), yang ‘dijual’ ke lokalisasi Bukit Maraja, membuat geram Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA). Dia meminta agar lokalisasi yang telah berdiri puluhan tahun itu segera ditutup.
Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait yang diwawancarai METRO, Kamis (29/1) menyampaikan, pihaknya telah mengeluarkan surat dengan Nomor 041/Komnas PA/I/2015 tentang dukungan terhadap laporan polisi Nomor.LP/023/I/2015/SU/Simal, ditujukan kepada Polres Simalungun dan surat Nomor 042/Komnas PA/I/2015 perihal penutupan lokalisasi Bukit Maraja dan bantuan pemulangan korban.
Atas nama Komnas Perlindungan Anak, dukungan itu disampaikan untuk menjamin perlindungan anak dari praktik kejahatan seksual dan perdagangan anak di wilayah hukum Polres Simalungun, serta mendesak Bupati Simalungun JR Saragih segera menutup Lokalisasi Bukit Maraja di Nagori Marihat Bukit, Kecamatan Gunung Malela.
“Hari ini (Kamis, red) Komnas Anak meminta Bupati Simalungun membantu memulangkan anak yang menjadi korban perbudakan seks ke daerah asal korban di Depok, Jawa Barat,” pintanya. “Demi kepentingan terbaik anak, tidak ada alasan bagi Bupati Simalungun untuk tidak menutup Lokalisasi Bukit Maraja,” katanya lagi.
Selain dukungan pemulangan korban ke tempat asal, Komnas PA yang merupakan lembaga independen yang memfokuskan diri melakukan promosi dan perlindungan anak juga mendesak Polres Simalungun menangkap dan menahan FN selaku pelaku alias germo (trafficker).
Aris berharap, Polres Simalungun mengenakan pasal berlapis terhadap pelaku, yakni Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 dan undang-undang tentang tindak pidana perdagangan manusia.
“Hari ini saya melayangkan surat dukungan kepada Polres Simalungun, agar segera menangkap dan menahan pelaku yang patut diduga sebagai pelaku perdagangan orang,” tegas pria berjanggut ini.
Bagaimana Nasib Kami
Saat METRO mendatangi kediaman yang ditumpangi h tiga gadis asal Depok tersebut, beserta RPK, abang Rose, mereka terus mempertanyakan bagaimana nasib mereka nantinya. Mereka meminta agar secepatnya diantarkan ke kampung halaman karena mereka merasa dalam kondisi tidak aman.
Kamis (29/1) pagi, METRO mendatangi kediaman yang mereka tumpangi. Saat didatangi, mereka menunjukkan raut wajah tidak senang. Melati (17), salah satu dari mereka langsung menyatakan bahwa ia hanya ingin pulang ke kampung halamannya secepatnya. “Bang, kapan kami diantarkan pulang? Kami mau balik ke rumah kami,” ucapnya. Rose (17) juga menanyakan hal yang sama. Gadis yang sedikit ‘garang’ ini tampak ketus saat berbicara dengan METRO.
“Bagaimana nasib kami. Kami mau pulang,” ujarnya dengan nada sedikit meninggi lalu masuk ke kamar.
Sementara, RPK (19) mencoba menenangkan adiknya. Dengan sabar ia berkata kepada METRO bahwa mereka hanya ingin pulang ke Depok. Bahkan mereka siap diantarkan dengan apa saja asal mereka benar-benar bisa sampai ke kampung halaman.
Ia merasa, keberadaan mereka di Siantar dan Simalungun sudah tidak aman lagi. Ia takut akan ada orang suruhan ibunya yang mendatangi mereka. “Kakek nenek kami sudah tidak ada, tapi kami masih punya tempat berteduh di sana (Depok). Setidaknya kami merasa aman di sana,” tukasnya.
Sementara, pemilik rumah mengatakan bahwa Rabu (28/1) lalu, ada dua orang yang mengenakan pin dari kepolisian datang ke warungnya dan menanyakan dimana anak-anak tersebut tinggal. “Mereka datang menggunakan kreta metik. Waktu itu aku bilang sama orang itu kalau mereka sudah ke Polres. Nggak lama, mereka pergi,” terangnya.
Pemeriksaan Data PSK Bersifat Rahasia
Kapolres Simalungun AKBP Heri Sulesmono mengatakan, untuk melakukan pemeriksaan terhadap pekerja seks komersil (PSK) di lokalisasi, pihaknya akan melakukan koordinasi dengan Pemkab Simalungun.
“Nanti kita akan koordinasi dengan Pemkab mengenai pengambilan data itu,” jelasnya. Terkait surat yang dikirimkan Komnas Perlindungan Anak melalui fax ke Polres Simalungun, ia mengatakan belum membacanya.
“Saya belum ada baca suratnya. Kasus itu masih kita dalami dan bila bukti sudah cukup, kita langsung amankan pelakunya,” jelasnya.
Kasat Reskrim Polres Simalungun AKP Wilson Pasaribu mengatakan, pihaknya akan sesegera mungkin melakukan pemeriksaan mengenai wanita penghibur yang berada di lokalisasi tersebut. Pihaknya akan melakukan pemeriksaan secara rahasia.
“Waktunya tidak bisa dipublikasikan. Intinya akan kita lakukan secara mendadak,” jelasnya singkat.
Sementara, Kepala Dians Sosial Simalungun Sannur Sianipar yang dihubungi METRO enggan memberikan komentarnya.
“Ke kantor saja besok ya Dek,” tulisnya dalam pesan singkat yang ia kirimkan. Dan, saat METRO mencoba menghubunginya kembali, ia juga enggan memberi komentarnya. “Besok sajalah datang ke kantor. Kalau masalah itukan tidak bisa asal jawab. Besok sajalah,” pungkasnya.
Dolly Saja Bisa…
Dukungan terhadap penutupan Lokalisasi Bukit Maraja juga disampaikan sejumlah tokoh agama. Mereka menegaskan, lokalisasi tersebut segera ditutup karena praktik prostitusi berakibat fatal terhadap generasi dan masyarakat luas di Siantar-Simalungun.
Ustad M Samsul Bahri yang dimintai komentarnya mengatakan bahwa prostitusi adalah dosa yang sangat besar. Dan, sudah selayaknya tempat maksiat tersebut dihentikan karena banyaknya permasalahan yang pernah terjadi di sana.
“Seharusnya Pemkab menutup lokalisasi itu. Dalam agama, berzinah merupakan dosa terbesar yang tiada ampun, apalagi memperdagangkan manusia,” ujarnya.
“Para ulama dan tokoh agama lainnya harus bersatu dan masyarakat harus mendukung agar tempat tersebut ditutup. Tidak ada lagi tempat maksiat di sekitar kampung kita ini,” jelas Ustad M Samsul. Dukungan yang sama disampaikan Ketua Organisasi Islam Simalungun (OKI) Maryani Harahap. “Harusnya itu bisa ditertibkan. Dolly saja yang terbesar di Asia Tenggara bisa ditutup. Mengapa Bukit Maraja dan tempat lainnya tidak?” sebutnya.
Sebelumnya, pemerintah juga pernah mencoba menutup lokalissi Bukita Maraja. Tetapi tetap saja tidak bisa, karena kurangnya dukungan atau ada hal lain yang diduga diperoleh oknum sehingga penutupan lokalisasi tidak pernah terealisasi.
“Entah apa yang diperoleh oknum di pemerintah kita sehingga penutupan lokalisasi tidak bisa ditutup,” terangnya. Ia berharap pemerintah belajar atas kejadian ini dan segera mengambil tindakan untuk menghentikan perdagangan manusia dan perbudakan di Simalungun.
“Tempat maksiat harus dihentikan segera. Tidak ada alasan untuk tidak menutup lokalisasi itu,” ujarnya sembari menyebutkan agar dilakukan pendekatan terhadap penghuni lokalisasi, beri peluang yang baik agar mereka mau kembali ke jalan yang benar.
Terpisah, Ephorus GKPS Pdt Jaharianson Saragih MTh mengatakan bahwa di agama manapun, prostitusi dilarang dan nantinya akan mendapatkan balasan. Dia menyampaikan, upaya penutupan lokalisasi di Simalungun seharusnya didorong masyarakat dan semua elemen, agar penutupan lokalisasi dapat tercapai.
“Bukan tidak ada niat Pemkab menutupnya. Hanya saja kurang ada dorongan atau dukungan dari masyarakat dan pihak lainnya,” jelasnya.
Lebih lanjut Ephorus menyampaikan, praktik prostitusi dapat mengakibatkan rusaknya moral seseorang. Tindakan kejahatan juga akan terus meningkat bila tempat seperti itu dibiarkan.
Ia berharap, Pemkab Simalungun bisa membuat terobosan agar bisa melakukan hal yang sama, seperti halnya dengan Dolly. “Perlu kebijakan tegas untuk menutup masalah yang ada saat ini,” tegas Ephorus.
Disampaikan, untuk mereka yang merasa tergusur, sudah seharusnya pemerintah mengambil sikap untuk keberlangsungan hidup mereka. “Kita sangat rindu dengan daerah yang bebas dari perbuatan maksiat. Mungkin dengan menutup lokalisasi dapat mengurangi tindakan kriminal,” pungkasnya.
Sementara, Ketua Majelis Ulama Indonsia (MUI) Simalungun H Abdul Halim Lubis mengatakan bahwa sebelum-sebelumnya desakan menutup lokalisasi di Simalungun sudah dilontarkan MUI kepada Pemkab Simalungun. Hanya saja Pemkab Simalungun tidak pernah merealisasikannya.
“Dari dulu desakan sudah kita sampaikan kepada Pemkab agar lokalisasi di Simalungun segera ditutup,” jelasnya. “Harus ditutup itu. Kita tidak ingin generasi yang seharusnya dapat membangun Simalungun menjadi rusak karena banyaknya tempat prostitusi,” ujar H Abdul Halim Lubis.
Silahkan, Asal Ada Ganti Rugi
Desakan sejumlah pihak untuk menutup Lokalisasi Bukit Maraja tak begitu dipermasalahkan oleh beberapa pemilik bar di lokasi tersebut. Seperti pengakuan Li, salah satu pemilik bar, mengaku siap bila ditutup, asalkan pemerintah mau mengganti rugi lahan dan bangunan.
Li yang ditemui METRO, Kamis (29/1) sekitar pukul 17.00 WIB mengatakan, pengusaha di sana sengaja membeli lahan untuk dibangun bar atau tempat hiburan sebagai penghidupan mereka. Dan jika ada permintaan ditutup, mereka pun tidak akan mau tinggal di sana lagi.
“Kalau memang pemerintah mau menutup lokalisasi ini, kami mau saja, asal diganti rugi,” tegasnya. Menurutnya, sejak maraknya tempat-tempat hiburan lain dan kedai tuak yang menyediakan wanita penghibur, barak di Bukit Maraja terus sepi. Hal ini diduga karena minuman di luar lebih murah
“Sekarang barak ini sepi Bang. Tamu yang ada pun paling pas libur, itupun hanya satu dua orang saja,” katanya.
Informasi diperoleh METRO, banyaknya warung-warung serupa di luar Bukit Maraja mengakibatkan sejumlah pengusaha merugi karena sepi pengunjung. Tak sedikit bar yang dulunya ramai, kini dikontrakan kepada PSK yang bekerja di sana.
Salah satunya bar SN, tempat dimana Rose, Mawar dan Melati dijadikan budak seks oleh si pengusaha, FN.
Kabarnya, dulu bar itu milik orang lain. Tapi karena pengujung di sana terus menurun, bar SN tersebut dikontrak FN yang dulunya sebagai PSK di sana.
Dari 60 bar yang tersebar di komplek Lokalisasi Bukit Maraja itu, banyak yang sudah ditinggal pergi pemiliknya. Sekarang, paling ada 32 bar yang beroperasi. Sementara, jumlah PSK, yang dulunya rata-rata enam sampai tujuh, bahkan 15 orang dalam satu bar, sekarang hanya sekitar tiga sampai empat PSK saja. Bahkan ada yang tinggal satu PSK saja, seperti di bar KL.
Namun, TS (25), salah seorang PSK di Lokalisasi Bukit Maraja mengaku tidak bersedia bila Lokalisasi Bukit Maraja ditutup begitu saja. Dia mengaku belum memiliki keterampilan lain untuk menghidupi dirinya.
“Kalau harus ditutup, kami meminta agar pemerintah lebih memberikan pelatihan-pelatihan kerja atau hal lain yang bisa dijadikan modal mencapai hidup yang layak,” pintanya. “Kalau ini ditutup, kami mau kerja apa? Skill dan keterampilan tidak ada. Pemerintah saja kurang memberikan perhatian,” keluh TS.
Pantuan METRO, sore itu hanya satu dua wanita saja terlihat di bar. Tak terlihat keramaian di sana.Masyarakat yang melintas juga hanya sedikit. Hanya ada beberapa pedagang mondar-mandir, seperti penjual tilam dan bantal, sepatu dan penjual makanan keliling.
Sementara di Bar SN, yang merupakan tempat ketiga gadis asal Depok itu ‘diperbudak’, tampak tertutup. Terlihat pintu digembok dari luar. Terpisah, Camat Gunung Malela Otto Simangunsong yang ditanyai terkait desakan penutupan Lokalisasi Bukit Maraja mengaku sangat setuju.
Otto mengatakan, dia lebih memilih kepentingan masyarakat dan memberikan rasa nyaman kepada warga yang tinggal di sekitar lokalisasi tersebut, sekaligus menetralisir kejadian serupa (human trafficking) berulang. “Kalau saya ditanya, setuju kalau lokalisasi itu ditutup. Tapi itu kan bukan kewenangan saya,” ujar camat. (end/lud/ara)
Sumber :METROSIANTAR.com
No comments