Pemilukada Mengikis Solidaritas Adat & Budaya
Garama ParRaya
12:58 AM
0
SIANTAR-METRO; Pada pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), di Indonesia termasuk di Sumatera Utara kerap diwarnai perselisihan antar kelompok pendukung. Pemilihan langsung kepala daerah yang seyogianya diharapkan menyerap seluruh aspirasi rakyat, justru sebaliknya dinilai telah mengikis solidaritas antar adat dan budaya.
Hal itu terungkap dalam acara Silaturahmi Pengurus Forkala Sumatera Utara dengan Forkala Simalungun dan Forkala Kota Pematangsiantar, yang digelar di Simalungun Room Siantar Hotel, Senin (20/9). Kritikan itu dilontarkan Marpaung, salah seorang peserta dari pengurus Dalihan Na Tolu, pada sesi tanya jawab. Dia menyatakan, salah satu dampak pemilukada yang ia lihat bahwa pesta rakyat untuk memperebutkan kekuasaan itu telah memunculkan primodialisme di tengah masyarakat.
Dia melihat, masyarakat kini beringas, tak ada lagi hormat-menghormati, kurangnya rasa toleransi etnis.
Marpaung juga melihat bagaimana peranan para tokoh lembaga adat di dalam memenangkan calon tertentu. Kondisi serupa juga banyak terjadi di tengah masyarakat saat pemilukada berlangsung, terjadi pengelompokan baik suku, agama dan golongan yang mengurucut sebagai sikap dukungan kepada salah satu pasangan calon kepala daerah tertentu. Tetapi tanpa disadari, perbedaan pendapat itu ternyata ada dan terus berlangsung sampai pemilukada usai hingga berujung ketidakharmonisan antar kelompok tertentu.
Beranjak dari fenomena itu, Marpaung menyarankan agar sebaiknya Forkala ambil peranan menyampaikan kepada pemerintah untuk meninjau kembali pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung. Agar tidak sampai berujung perpecahan di tengah-tengah masyarakat yang sudah harmonis di dalam keberagaman.
Drs H NG Daeng Malewa MM, Sekretaris Forkala Sumut, juga menyadari hal serupa. Menanggapi pernyataan tersebut, ia juga sependapat agar pelaksanaan pemilukada ditinjau kembali. "Bila perlu pelaksanaan pemilihan langsung supaya cukup dilaksanakan hingga tingkat provinsi saja," pungkas Daeng Malewa.
"Tetapi ini masih sekadar pendapat saja ya," Daeng Malewa segera mengklarifikasi.
Ia juga menyebutkan, pelaksanaan pemilukada tidak hanya mengikis solidaritas budaya, tetapi juga memunculkan kecemburuan sosial. Dia mencontohkan, pelaksanaan pemilukada yang berlangsung di daerah asalnya di Makassar yang sarat dengan money politics. "Uang berhamburan, yang disponsori salah satu calon kepala daerah tertentu. Inikan memunculkan kecemburuan sosial," katanya.
Dikatakan dia, ada banyak masyarakat yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Masyarakat yang masih berpenghasilan di bawah Rp20 ribu per hari, mereka tentu akan cemburu begitu melihat seseorang yang memiliki harta hingga miliaran rupiah dan dengan mudahnya menghamburkan uang untuk kepentingan politik," ulasnya.
Dalam pemaparan makalahnya juga disebutkan, berbagai perbedaan dalam kultur, agama/kepercayaan serta kemauan tentu ada, yang bila dipertentangkan sangat rawan menimbulkan konflik. Adanya perbedaan itu perlu terus dicermati dan disikapi, agar selalu tercipta iklim yang kondusif di tengah masyarakat.
Mahrum Sipayung, Sekda Simalungun, yang hadir dalam pertemuan itu juga menyebutkan bahwa masih terjadi kesenjangan sosial di tengah masyarakat. Dia juga mengungkapkan, ada banyak masyarakat yang masih berada di bawah garis kemiskinan. "Ini berdasarkan data dari BPS ya," ungkapnya.
Sehingga ia berpendapat, meningkatkan pendapatan rata-rata penduduk merupakan langkah tepat untuk menciptakan keharmonisan daripada sekadar euvoria pemilihan kepala daerah. Sebab ia juga melihat, dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah tak lagi mengutamakan kualitas seseorang yang akan dipilih, tetapi lebih kepada kepentingan, dan atau kebutuhan sesaat.
Wakil Ketua DPRD Kabupaten Simalungun Ojak Naibaho SH, yang juga hadir dalam pertemuan itu, menyarankan agar Forkala juga sebaiknya turut dilibatkan dalam menyusun program-program di pemerintahan, termasuk saat musrembang.
Sekadar diketahui, Forkala merupakan forum komunikasi antar lembaga adat, di mana tokoh-tokoh adat duduk di situ, 8 etnis asli Sumatera Utara di antaranya Suku Simalungun, Toba, Karo, Angkola, Nias, Pakpak, Melayu, dan Mandailing, dan beberapa etnis pendatang, seperti Tionghoa, India, Aceh, Minang, Jawa, Bugis, Ambon, dan lain sebagainya. (dro)
Hal itu terungkap dalam acara Silaturahmi Pengurus Forkala Sumatera Utara dengan Forkala Simalungun dan Forkala Kota Pematangsiantar, yang digelar di Simalungun Room Siantar Hotel, Senin (20/9). Kritikan itu dilontarkan Marpaung, salah seorang peserta dari pengurus Dalihan Na Tolu, pada sesi tanya jawab. Dia menyatakan, salah satu dampak pemilukada yang ia lihat bahwa pesta rakyat untuk memperebutkan kekuasaan itu telah memunculkan primodialisme di tengah masyarakat.
Dia melihat, masyarakat kini beringas, tak ada lagi hormat-menghormati, kurangnya rasa toleransi etnis.
Marpaung juga melihat bagaimana peranan para tokoh lembaga adat di dalam memenangkan calon tertentu. Kondisi serupa juga banyak terjadi di tengah masyarakat saat pemilukada berlangsung, terjadi pengelompokan baik suku, agama dan golongan yang mengurucut sebagai sikap dukungan kepada salah satu pasangan calon kepala daerah tertentu. Tetapi tanpa disadari, perbedaan pendapat itu ternyata ada dan terus berlangsung sampai pemilukada usai hingga berujung ketidakharmonisan antar kelompok tertentu.
Beranjak dari fenomena itu, Marpaung menyarankan agar sebaiknya Forkala ambil peranan menyampaikan kepada pemerintah untuk meninjau kembali pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung. Agar tidak sampai berujung perpecahan di tengah-tengah masyarakat yang sudah harmonis di dalam keberagaman.
Drs H NG Daeng Malewa MM, Sekretaris Forkala Sumut, juga menyadari hal serupa. Menanggapi pernyataan tersebut, ia juga sependapat agar pelaksanaan pemilukada ditinjau kembali. "Bila perlu pelaksanaan pemilihan langsung supaya cukup dilaksanakan hingga tingkat provinsi saja," pungkas Daeng Malewa.
"Tetapi ini masih sekadar pendapat saja ya," Daeng Malewa segera mengklarifikasi.
Ia juga menyebutkan, pelaksanaan pemilukada tidak hanya mengikis solidaritas budaya, tetapi juga memunculkan kecemburuan sosial. Dia mencontohkan, pelaksanaan pemilukada yang berlangsung di daerah asalnya di Makassar yang sarat dengan money politics. "Uang berhamburan, yang disponsori salah satu calon kepala daerah tertentu. Inikan memunculkan kecemburuan sosial," katanya.
Dikatakan dia, ada banyak masyarakat yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Masyarakat yang masih berpenghasilan di bawah Rp20 ribu per hari, mereka tentu akan cemburu begitu melihat seseorang yang memiliki harta hingga miliaran rupiah dan dengan mudahnya menghamburkan uang untuk kepentingan politik," ulasnya.
Dalam pemaparan makalahnya juga disebutkan, berbagai perbedaan dalam kultur, agama/kepercayaan serta kemauan tentu ada, yang bila dipertentangkan sangat rawan menimbulkan konflik. Adanya perbedaan itu perlu terus dicermati dan disikapi, agar selalu tercipta iklim yang kondusif di tengah masyarakat.
Mahrum Sipayung, Sekda Simalungun, yang hadir dalam pertemuan itu juga menyebutkan bahwa masih terjadi kesenjangan sosial di tengah masyarakat. Dia juga mengungkapkan, ada banyak masyarakat yang masih berada di bawah garis kemiskinan. "Ini berdasarkan data dari BPS ya," ungkapnya.
Sehingga ia berpendapat, meningkatkan pendapatan rata-rata penduduk merupakan langkah tepat untuk menciptakan keharmonisan daripada sekadar euvoria pemilihan kepala daerah. Sebab ia juga melihat, dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah tak lagi mengutamakan kualitas seseorang yang akan dipilih, tetapi lebih kepada kepentingan, dan atau kebutuhan sesaat.
Wakil Ketua DPRD Kabupaten Simalungun Ojak Naibaho SH, yang juga hadir dalam pertemuan itu, menyarankan agar Forkala juga sebaiknya turut dilibatkan dalam menyusun program-program di pemerintahan, termasuk saat musrembang.
Sekadar diketahui, Forkala merupakan forum komunikasi antar lembaga adat, di mana tokoh-tokoh adat duduk di situ, 8 etnis asli Sumatera Utara di antaranya Suku Simalungun, Toba, Karo, Angkola, Nias, Pakpak, Melayu, dan Mandailing, dan beberapa etnis pendatang, seperti Tionghoa, India, Aceh, Minang, Jawa, Bugis, Ambon, dan lain sebagainya. (dro)
sumber : metro siantar
berita terbaru klik nasiam ijon
untuk versi mobile klik nasiam ijon
No comments