Bupati Harus Pertimbangkan Kearifan Lokal
Garama ParRaya
6:03 AM
0
Soal Pencopotan & Pengangkatan Pejabat
SIMALUNGUN-METRO; Terlepas bahwa Bupati Simalungun memiliki hak dan kewenangan mengangkat para pejabat birokrasi di wilayah kekuasaannya, idealnya pergantian tersebut tetap harus mempertimbangkan berbagai aspek. Baik aspek peraturan dan mekanisme regulasi birokrasi maupun aspek lain, seperti SDM, kontelasi politik dan kearifan lokal.
Demikian diungkapkan, Ketua LSM SoPo (Studi Otonomi dan Politik), Kristian Silitonga, saat diwawancarai tentang pemecatan dan pengangkatan pejabat di dilingkungan Pemkab Simalungun.
"Pergantian para pejabat tersebut dengan alasan percepatan kerja dan loyalitas kekuasaan tidak berarti harus dilakukan secara tergesa-gesa dan dadakan, tidak terukur dan mengabaikan mekanisme dan peraturan kepegawaian yang ada. Sejauh amatan saya, pergantian pejabat di Pemkab Simalungun terkesan pada kebijakan emosional dan ekpresi unjuk gigi kekuasaan Bupati. Contohya, pergantian Sekda yang baru-baru dilakukan, sebagai jabatan tertinggi PNS tidak dapat dilakukan sesederhana itu. Tetap harus mengacu pada peraturan yang berlaku seperti PP 05 Tahun, PP 100 dan PP 13…
Dan keterlibatan DPRD sebagai unsur pemerintahan daerah bersangkutan, ini menyangkut soal tata tertib administrasi pemerintahan daerah, bukan organisasi atau perusahaan swasta. Namun yang jauh lebih penting dan utama dari sekedar soal regulasi dan mekanisme itu adalah bagaimana kepemimpinan kekuasaan itu dikelola dengan tetap menghargai dan memahami konstelasi geopolitik dan kearifan lokal yang ada. Ini bukan soal layak atau tidak, loyal atau tidak, suku ini atau tidak tetapi lebih dari itu," tegasnya.
Menurut Kristian, esensi kepemimpinan dalam era otonomi daerah sekarang ini sejatunya dalah bagaimana membangun suatu daerah pada aspek fisik wilayah dan manusianya. Bupati berkewajiban tidak hanya membangun wilayah Simalungun, tetapi juga memberdayakan warganya termasuk SDM birokrasinya. Pada titik ini pernghargaan pada sumber daya lokal tetap harus jadi pertimbangan utama.
"Ini bukan gejala sektarianisme tetapi lebih pada kearifan kepemimpinan lokal. Kalau hanya sekedar mengumpulkan pejabat handal, ‘impor’ saja dari pusat, di sana tersedia tenaga yang handal, tetapi di sanalah esensi otonomi daerah yang dimaksud. Ini harus menjadi pertimbanagn Bupati dalam mengambil kebijakan birokrasi ke depan," katanya.
Bupati Dinilai Tak Profesional
Sementara itu, beberapa warga menilai, Bupati Simalungun, DR JR Saragih dinilai tak professional dan omong besar alias bulsit, serta tidak memiliki etika menjalankan agenda perubahan di Kabupaten Simalungun. Pasalnya, baru beberapa minggu menjabat Bupati Simalungun, JR melakukan pergantian pejabat dengan mengesampingkan aturan dan mekanisme pengangkatan pejabat.
Tanggapan itu disampaikan salah seorang warga Hatonduhan, Sopar Manurung ketika berbincang-bincang dengan METRO, Rabu (17/11) saat berkunjung di Pematangsiantar.
Menurut Sopar, pergantian pejabat di lingkungan Pemkab Simalungun bukan merupakan pekerjaan prioritas yang harus dilakukan JR, tetapi layaknya harus merangkul berbagai elemen masyarajat, untuk bersama-sama memberikan kontribusi pemikiran untuk membangun daerah Simalungun. Selain itu, masih banyak persoalan yang lebih penting yang harusnya dikerjakan, selain melakukan mutasi-mutasi dan pengakatan pejabat.
Ironisnya, pergantian pejabat yang dilakukan JR sangat tidak tepat karena belum melakukan evaluasi terhadap kinerja para pejabat sebelumnya. Apalagi, pejabat yang dihunjuk belum tentu memiliki kualitas yang baik dalam menjalankan tugas ke depan.
Kritik pedas bahkan disampaikan D Lubis, warga Kecamatan Siantar. Dia menilai, sikap Bupati Simalungun yang melakukan pelantikan pejabat bahkan mengimpor pejabat dari luar daerah sangat menyakiti hati masyarakat Simalungun. "Di sini juga banyak pejabat yang berkompetan, kenapa harus mengambil dari luar?" kesal Lubis.
Lubis menyebutkan, pernyataan Bupati Simalungun, JR Saragih di berbagai media berjanji memilih pejabat dan mengangkat pejabat dengan profesional sangat bertentangan. Terbukti, dari beberapa pejabat yang dilantik masih banyak yang tidak memenuhi aturan untuk menduduki jabatan, bahkan Bupati juga mengangkat PNS yang sudah pensiun menjadi pejabat. "Jadi jangan bicara profesionalisme, toh juga melanggar aturan. Kalau pejabat yang ‘diimpor’ itu professional, tidak mungkin dia mau pindah ke Simalungun, tetapi terus mengabdi di daerah asalnya. Jangan-jangan, karena tak berguna dia di sana makanya dicari daerah lain," tegas Lubis sembari menyebutkan Bupati Simalungun telah menyakiti dan tidak menghormati kearifan lokal di Simalungun.
Sementara Mahasiswa Fakultas Hukum USI, Alpendisius Damanik menuturkan, dalam hal pengangkatan, pemberhentian suatu jabatan, ada mekanisme yang harus dipedomani dan bukan suka-suka kepala daerah.
Dia menerangkan, seseorang bisa diangkat menjadi pejabat harus memenuhi syarat., seperti contoh jika seseorang PNS hendak diangkat menjadi pejabat eselon II, PNS itu harus pernah menduduki jabatan struktural minimal setara eselon III sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No 100 Tahun 2000 jo Peraturan Pemerintah No.13 tahun 2002 jo Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor.5 tahun 2005.
Selain itu, harus ada penilaian dari Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) terkai kepangkatan PNS yang akan diangkat menjadi pejabat. "Jadi tak bisa asal hunjuk dan angkat. Ini menurut informasi, ada pejabat yang dilantik belum pernah menjabat sebagai pejabat struktural dan pangkat belum sesuai, tapi langsung diangkat. Itu jelas melanggar aturan," tegas Damanik. (esa/spy)
Demikian diungkapkan, Ketua LSM SoPo (Studi Otonomi dan Politik), Kristian Silitonga, saat diwawancarai tentang pemecatan dan pengangkatan pejabat di dilingkungan Pemkab Simalungun.
"Pergantian para pejabat tersebut dengan alasan percepatan kerja dan loyalitas kekuasaan tidak berarti harus dilakukan secara tergesa-gesa dan dadakan, tidak terukur dan mengabaikan mekanisme dan peraturan kepegawaian yang ada. Sejauh amatan saya, pergantian pejabat di Pemkab Simalungun terkesan pada kebijakan emosional dan ekpresi unjuk gigi kekuasaan Bupati. Contohya, pergantian Sekda yang baru-baru dilakukan, sebagai jabatan tertinggi PNS tidak dapat dilakukan sesederhana itu. Tetap harus mengacu pada peraturan yang berlaku seperti PP 05 Tahun, PP 100 dan PP 13…
Dan keterlibatan DPRD sebagai unsur pemerintahan daerah bersangkutan, ini menyangkut soal tata tertib administrasi pemerintahan daerah, bukan organisasi atau perusahaan swasta. Namun yang jauh lebih penting dan utama dari sekedar soal regulasi dan mekanisme itu adalah bagaimana kepemimpinan kekuasaan itu dikelola dengan tetap menghargai dan memahami konstelasi geopolitik dan kearifan lokal yang ada. Ini bukan soal layak atau tidak, loyal atau tidak, suku ini atau tidak tetapi lebih dari itu," tegasnya.
Menurut Kristian, esensi kepemimpinan dalam era otonomi daerah sekarang ini sejatunya dalah bagaimana membangun suatu daerah pada aspek fisik wilayah dan manusianya. Bupati berkewajiban tidak hanya membangun wilayah Simalungun, tetapi juga memberdayakan warganya termasuk SDM birokrasinya. Pada titik ini pernghargaan pada sumber daya lokal tetap harus jadi pertimbangan utama.
"Ini bukan gejala sektarianisme tetapi lebih pada kearifan kepemimpinan lokal. Kalau hanya sekedar mengumpulkan pejabat handal, ‘impor’ saja dari pusat, di sana tersedia tenaga yang handal, tetapi di sanalah esensi otonomi daerah yang dimaksud. Ini harus menjadi pertimbanagn Bupati dalam mengambil kebijakan birokrasi ke depan," katanya.
Bupati Dinilai Tak Profesional
Sementara itu, beberapa warga menilai, Bupati Simalungun, DR JR Saragih dinilai tak professional dan omong besar alias bulsit, serta tidak memiliki etika menjalankan agenda perubahan di Kabupaten Simalungun. Pasalnya, baru beberapa minggu menjabat Bupati Simalungun, JR melakukan pergantian pejabat dengan mengesampingkan aturan dan mekanisme pengangkatan pejabat.
Tanggapan itu disampaikan salah seorang warga Hatonduhan, Sopar Manurung ketika berbincang-bincang dengan METRO, Rabu (17/11) saat berkunjung di Pematangsiantar.
Menurut Sopar, pergantian pejabat di lingkungan Pemkab Simalungun bukan merupakan pekerjaan prioritas yang harus dilakukan JR, tetapi layaknya harus merangkul berbagai elemen masyarajat, untuk bersama-sama memberikan kontribusi pemikiran untuk membangun daerah Simalungun. Selain itu, masih banyak persoalan yang lebih penting yang harusnya dikerjakan, selain melakukan mutasi-mutasi dan pengakatan pejabat.
Ironisnya, pergantian pejabat yang dilakukan JR sangat tidak tepat karena belum melakukan evaluasi terhadap kinerja para pejabat sebelumnya. Apalagi, pejabat yang dihunjuk belum tentu memiliki kualitas yang baik dalam menjalankan tugas ke depan.
Kritik pedas bahkan disampaikan D Lubis, warga Kecamatan Siantar. Dia menilai, sikap Bupati Simalungun yang melakukan pelantikan pejabat bahkan mengimpor pejabat dari luar daerah sangat menyakiti hati masyarakat Simalungun. "Di sini juga banyak pejabat yang berkompetan, kenapa harus mengambil dari luar?" kesal Lubis.
Lubis menyebutkan, pernyataan Bupati Simalungun, JR Saragih di berbagai media berjanji memilih pejabat dan mengangkat pejabat dengan profesional sangat bertentangan. Terbukti, dari beberapa pejabat yang dilantik masih banyak yang tidak memenuhi aturan untuk menduduki jabatan, bahkan Bupati juga mengangkat PNS yang sudah pensiun menjadi pejabat. "Jadi jangan bicara profesionalisme, toh juga melanggar aturan. Kalau pejabat yang ‘diimpor’ itu professional, tidak mungkin dia mau pindah ke Simalungun, tetapi terus mengabdi di daerah asalnya. Jangan-jangan, karena tak berguna dia di sana makanya dicari daerah lain," tegas Lubis sembari menyebutkan Bupati Simalungun telah menyakiti dan tidak menghormati kearifan lokal di Simalungun.
Sementara Mahasiswa Fakultas Hukum USI, Alpendisius Damanik menuturkan, dalam hal pengangkatan, pemberhentian suatu jabatan, ada mekanisme yang harus dipedomani dan bukan suka-suka kepala daerah.
Dia menerangkan, seseorang bisa diangkat menjadi pejabat harus memenuhi syarat., seperti contoh jika seseorang PNS hendak diangkat menjadi pejabat eselon II, PNS itu harus pernah menduduki jabatan struktural minimal setara eselon III sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No 100 Tahun 2000 jo Peraturan Pemerintah No.13 tahun 2002 jo Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor.5 tahun 2005.
Selain itu, harus ada penilaian dari Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) terkai kepangkatan PNS yang akan diangkat menjadi pejabat. "Jadi tak bisa asal hunjuk dan angkat. Ini menurut informasi, ada pejabat yang dilantik belum pernah menjabat sebagai pejabat struktural dan pangkat belum sesuai, tapi langsung diangkat. Itu jelas melanggar aturan," tegas Damanik. (esa/spy)
sumber : metro siantar
berita terbaru klik nasiam ijon
untuk versi mobile klik nasiam ijon
No comments